Telah kita ketahui bersama bahwa shalat merupakan ibadah yang diaksanakan dengan ucapan dan gerakan yang khusus, dalam pelaksanaan shalat kita wajib memenuhi syarat-syaratnya, begitu juga rukun-rukunnya harus mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam sabda beliau, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melaksanakan shalat.”
1. Berbicara
Yaitu mengucapkan dua kata atau lebih, atau
dengan satu kata yang bisa dipahami. Telah dikhabarkan dari Zaid bin arqam ia
berkata, “Suatu ketika kami berbicara dalam shalat, yaitu ada seseorang yang
berbicara dengan temannya yang berada disampingnya, sehingga turun ayat, “Dan
laksanakanlah shalat karena Allah dengan khusyu’”.(al Baqarah:238), maka
kemudian kami disuruh diam dan dilarang berbicara.” (H.R Jamaah)
Diantara yang membatalkan shalat juga
adalah berdehem tanpa udzur dengan dua kata atau lebih atau merintih, menangis,
dan mengaduh. Kecuali jika sakit atau karena takut akan siksa Allah Subhanahu wata’ala.
Termasuk juga jika ia menjawab orang yang
bersin, bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam di selain
tasyahud, menjawab salam, dan doa yang menyerupai perkataan manusia.
Hanafiah berpendapat bahwa
berbicara termasuk pembatal shalat, baik karena disengaja, lupa, bodoh, salah,
atau dipaksa, begitu juga meniup sesutau dalam shalat, ia akan membatalkan shalat, jika sampai terdengar
suaranya dan terdiri
dari dua kata, karena ia termasuk perkataan. Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas,“meniup dalam
shalat sama dengan perkataan.”
Membenarkan bacaan imam dan selain imam,
yaitu membenarkannya dalam bacaannya.Jika makmum membenarkan bacaan al Qur’an selain imam,
maka telah batal shalatnya, karena dia telah mengajarinya dan itu termasuk
jenis perkataan manusia. Adapun jika ma’mum membenarkan imam, maka disana ada perinciannya :
Hanafiah berkata, jika imam berhenti
membaca, sebelum ia pindah ke ayat yang lain, maka dibolehkan ma’mum
membenarkan atau membimbingnya, yaitu membenarkan dengan tanpa membaca mushaf.
Adapun jika ia membacanya maka dilarang dan makruh baginya. Jika imam pindah ke
ayat yang lain, Maka shalatnya ma’mum dianggap batal, begitu juga imam jika ia
mengambil perkataannya tersebut, karena adanya talqin di dalamnya padahal tidak
mendesak.
Malikiyah berkata, batal shalat seorang
ma’mum yang membenarkan bacaan selain imam, baik orang yang shalat maupun
tidak. Adapun membenarkan imam, jika ia berhenti membaca dan ragu-ragu, maka
boleh membenarkannya, bahkan wajib.
2. Makan dan minum dengan sengaja
Telah disepakati bahwa makan dan minum
dengan sengaja bisa membatalkan shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunah, sebagaimana
berbicara karena ia termasuk pekerjaan-pekerjaan manusia.
Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah tidak membatalkan shalat jika makan dan minum karena lupa atau bodoh
tentangnya. Akan tetapi Malikiyah dan Hanafiyah berkata, “Tidak mengapa jika
makanan ringan, seperti ada biji yang tersangkut di sela-sela gigi, tapi selain
itu bias membatalkan shalat kecuali jika tidak bias membuangnya.
Hanafiyah berpendapat, makan dan minum
medmbatalkan shalat, baik sengaja ataupun tidak, baik sedikait ataupun banyak,
karena ia bukan bagian dari shalat. Kecuali jika ada sesuatu di sela-sela
giginya, kemudian ia menelannya maka itu tidaklah membatalkannya.
Adapun mengunya byang lebih dari tiga kali
dan berturut-turut, maka shalatnya rusak. Demikian juga jika ia menelan sesuatu
yang manis atau permen dari mulutnya.
3. Banyak bergerak dan terus menerus
Para ahli fikih telah sepakat bahwa banyak
gerak yang merubah posisi shalat dan dilakukan terus menerus bisa membatalkan
shalat, baik itu karena sengaja atau lalai, tapi jika bergerak sedikit tidak
membatalkannya.
Termasuk yang tidak membatalkan shalat
adalah melangkah, atau menggerakkan tangannya sekali atau dua kali, dan lain
sebagainya.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallhu
‘anha ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah Shalallu ‘alaihi wasallam
sedang shalat di dalam rumah, sedangkan pintu rumah tertutup, kemudian aku
datang dan Rasulullah berjalan membukakan pintu, lalu Rasulullah kembali lagi
ke tempatnya, dan pintu rumah Rasulullah menghadap kiblat.”
Diperbolehkan juga membunuh binatang yang
membahayakan, walaupun sampai merubah posisi dari arah kiblat atau banyak gerak
karena membunuh binatang tersebut, seperti ular, kalajengking atau yang lain.
Ini pendapat jumhur, tetapi ada sebagian yang memakruhkannya seperti Ibrahim An
Nakha’i dan Hasan Al
Bashri dan ‘Atha’.
4. Sengaja membuka aurat
Menurut hanafiyah yang dimaksud disini adalah membuka aurat atau terbuka
selama menjalankan satu rukun. Jika sepertiga aurat terbuka, namum langsung buru-buru
ditutup maka ini tidak membatalkan shalat menurut Syafi’iyah dan Hanabilah.
Menurut Malikiyah shalat mutlak dianggap batal jika aurat inti terbuka.
5. Keluarnya hadats kecil maupun besar
Keluar hadats kecil maupun besar
juga membatalkan shalat, meskipun orang itu
sengaja maupun lupa, namun jika ia bimbang maka lebih baik diteruskan
karena ada kaidah suatu keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan suatu yang
ragu.
Diantara hal-hal yang termasuk
hadats adalah tidur tanpa memposisikan pantatnya di atas tanah/lantai.
Menurut hanafiyah, jika keluar
hadats di tengah shalat tanpa sengaja, misalnya sesuatu yang keluar tanpa sengaja dari tubuhnya baik berupa air
seni, air besar, buang angin, mimisan dan keluar darah dari luka atau bisul
bernanah, maka ini tidak membatalkan dengan dalil istihsan.
6. Tertawa terbahak-bahak
Menurut mayoritas
ulama selain Hanafiyah, tertawa yang sampai mengeluarkan suara hingga dua
kalimat atau satu kalimat dipahami, maka hal itu membatalkan shalat. Batalnya
shalat disitu karena termasuk dalam kategori berbicara.
Hanafiyah
membedakan antara tertawa kecil dan tertawa lebar. Adapun tertawa kecil yaitu
hanya didengar dirinya sendiri, maka membatalkan shalat hanyasanya tidak
membatalkan wudhu, tapi jika tertawa lebar hngga dapat didengar teman
sampingnya, maka ini dapat membatalkan shalat dan wudhunya.
7. Murtad, mati, gila, dan pingsan
Keadaan tersebut akan membatalkan shalat
karena akan menghilangkan hakikat shalat itu sendiri.
8. Melanggar rukun-rukun shalat ataupun syarat-syaratnya
Yaitu seperti meninggalkan salah satu rukun
shalat, adapun melanggar syarat tanpa udzur seperti membelakangi kiblat,
menyingkap aurat dengan sengaja, atau tidak sengaja dengan waktu yang lama, atau jika ia mengetahui dan langsung
menutupnya maka tidak membatalkannya.
9. Berubahnya niat
Shalat dianggap batal karena bimbang atau
berubah dalam niatnya, atau berniat untuk membatalkan shalat, atau niat keluar
dari shalat, atau membatalkan bagian shalat yang sudah dijalani, atau bimbang
apakah sudah niat atau belum. Semua ini telah disepakati para ulama.
Demikian juga jika berpindah niat, ia
akan membatalkan shalat yang pertama dan yang dihitung adalah shalat yang kedua.
Adapun jika niatnya sama dengan yang awal maka niat yang akhir tidak
berpengaruh, dan yang dihitung niat yang awal. Sedangkan Imam Syafi’i sendiri
membolehkan mengubah niat shalat fardhu menjadi niat shalat sunnah mutlak,
tanpa membatalkan rakaat yang telah dijalani.
10. Salah dalam membaca lafadz shalat
Menurut Hanafiyah dan syafi’iyah salah
dalam membaca lafadz shalat yang merubah maknanya bisa membatalkan shalat
seseorang, seperti berubahnya makna iman jadi kufur, atau ketaatan menjadi
kemaksiatan, lalu syafi’iah lebih merinci lagi terkhusus dalam surat al Fathihah,
dan juga dalam surat yang lain jika sengaja, berilmu, dan mampu untuk membaca
dengan benar, begitu juga pendapat Hanabilah. Akan tetapi menurut Malikiyah
salah dalam dalam bacaan tidak membatalkan shalat walaupun sampai merubah maknanya,
baik dalam surat al Fathihah maupun dalam surat lainnya.
Ulama Hanabilah berkata, jika dengan bacaan itu
mengubah makna selain dari surat al Fathihah, shalatnya tetap sah dan boleh
dijadikan imam. Kecuali jika terdapat unsur kesengajaan, maka shalatnya batal.
Adapun jika mengubah makna pada surat al Fathihah maka shalatnya batal.
11. Hilangnya udzur
Yaitu seperti seseorang yang telanjang mendapatkan pakain untuk menutup auratnya
ketika shalat, atau seorang yang bertayamum mendapatkan air yang cukup untuk
berwudhu.Menurut Hanafiyah dan Hanabilah jika melihat air, maka batal shalatnya.
Akan tetapi menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, shalat orang yang bersuci dengan
bertayammum tidak batal hanya karena melihat air. Kecuali jika orang itu lupa
bahwa dia masih memiliki bekal air yang cukup, lantas ia ingat. Pada saat
seperti itu, maka shlatnya batal jika memang waktu shalatnya masih panjang
untuk mengulangi lagi, ini menurut Malikiyah.
12. Melanggar sebagian gerakan-gerakan shalat
Seperti sengaja rukuk, i’tidal, atau sujud
sebelum imam, jika ia lalai maka harus kembali lagi, dan itu tidak membatalkan
shalat. Hanafiyah berpendapat bahwa menyelisihi imam akan membatalkan shalat
walaupun lalai.
Syafi’iyah berkata, shalat seorang makmum tidak
dianggap batal kecuali jika ia mendahului imam dua rukun yang berupa gerakan
tanpa udzur, seperti lupa misalnya. Demikian halnya jika sengaja tertinggal
dari imam tanpa ada udzur, seprti bacannya lambat misalnya.
13. Menambah raka’at shalat dengan semisalnya karena lupa
Yaitu seperti shalat dhuhur sebanyak
delapan raka’at, atau shalat maghrib sebanyak enam raka’at, atau shubuh empat
raka’at, karena lupa yang berlebihan yang melampui batas menunjukkan tidak
khusyu’nya seseorang dalam shalat, yang tidak mnghadirkan ruh dalam shalatnya.
14. Mengingat shalat sebelumnya
Seperti telah masuk waktu ashar, tapi ia
ingat belum shalat dhuhur, maka shalat asharnya batal hingga ia shalat dhuhur
terlebih dahulu, karena tertib dalam shalat lima waktu merupakan kewajiban yang
telah disyari’atkan.
15. Tidak ada yang menggantikan imam ketika ia berhadats
Jika seorang imam berhadats dan tidak ada
yang maju untuk menggantikannya sampai imam keluar masjid maka shalat ma’mum
rusak, karena mereka berma’mum bersamanya dan tidak ada imamnya.
16. Lewatnya
seorang wanita, keledai, atau anjing hitam di depan orang yang shalat
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي
ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wanita,
keledai, dan anjing dapat memutuskan shalat, dan dapat selamat dari hal itu
jika ada sesuatu di depannya (yaitu sutrah) seukuran bagian pelana
kendaraan tunggangan/kuda” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 511].
Maksud dari ‘memutuskan’ disini
adalah memutuskan kekhusyu’an shalat seseorang, karena bagaimanapun akan
mengganggu sekali jika ada orang atau sesuatu yang lewat di depan orang yang
shalat.
Perlu digarisbawahi juga bahwa
wanita disitu adalah wanita yang sudah baligh, adapun yang msih anak-anak dan
belum baligh tidak mengapa.
17. Berpaling
dari arah kiblat tanpa udzur
Menurut Syafi’iyah dan Hanafiyah, jika ada
udzur seperti berpaling untuk mengambil air wudhu, maka hal itu tidak
membatalkan shalat, karena bisa dimaafkan. Hal lain yang termasuk udzur menurut
Syafi’iyah adalah berpalingnya orang bodoh dan orang lupa, tapi buru-buru
kembali ke arah kiblat.
Menurut Malikiyyah, shalat tidak dianggap batal
selama telapak kaki masih menghadap ke arah kiblat. Sedangkan menurut
Hanabilah, shalatnya tidak dianggap batal selama orang itu tidak memalingkan
seluruh tubunya dari arah kiblat.
18. Terkena
najis yang tidak bisa dimaafkan, baik badan, pakaian, maupun tempat
Siapa saja yang badan aatu pakaiannya terkena
najis atau sujud pada tempat yang najis dan tidak dapat dimaafkan, atau ada
najis yang keluar dari mulut, hidung, atau telinga, maka shalatnya batal.
Adapun najis yang dimaafkan tidak membatalkan shalat. Begitu juga najis kering
yang jatuh mengenai pakaian, lantas langsung dilepaskan atau dibuang.
Orang yang
shalat dengan pakaian yang terkena najis, baik karena dia tidak tahu atau
karena dia lupa, padahal sebelumnya dia tahu bahwa pakaiannya itu bernajis dan
dia baru teringat tentang hal itu setelah dia selesai shalat, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulang.
Bagaimana jika hal itu
diketahui/diingat di tengah shalat? Dalam hal ini, ada rincian:
1. Jika memungkinkan untuk dilepas–artinya, jika pakaian itu
dilepas maka tidak sampai membuka aurat–maka pakaian tersebut harus dilepas.
Seperti, peci atau yang lainnya.
2. Jika tidak memungkinkan untuk
dilepas, karena jika dilepas maka auratnya bisa terbuka, maka pakaian
tersebut tidak perlu dilepas, dan shalatnya sah. (Keterangan dari Syekh Abdul
Azhim Al-Badawi, dalam Al-Wajiz, hlm. 81)
Dalilnya adalah hadits dari Abu Said Al-Khudri, bahwa suatu ketika,
Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam melepas
sendalnya ketika beliau shalat. Para shahabatyang
bermakmum di belakang beliau pun ikut-ikutan melepas sendal mereka. Setelah
selesai shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang menyebabkan kalian
melepaskan sendal kalian?” Mereka menjawab, “Kami melihat Anda melepas sandal,
sehingga kami pun mengikutinya.” Kemudian, beliau menjelaskan, “Sesungguhnya,
Jibril mendatangiku dan memberitahukan padaku bahwa di kedua sendalku ada najis
(sehingga beliau pun melepas kedua sendal beliau, pent.).” (HR. Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani)
19. Mengucapkan
salam sebelum selesai shalat
Jika seorang mengucapkan salam sebelum
selesai shalat kerena lupa, maka shalatnya tidak batal sebelum melakukan banyak
gerak dan banyak bicara.
Adapun hal-hal
yang diharamkan dalam shalat adalah sebagai berikut;
1. Memakai pakaian najis dan hasil dari merampas
Pakain yang najis tidak sah digunakan untuk
shalat, karena suci dari najis adalah syarat sahnya shalat.Adapun pakaian yang
dihasilkan dari merampas, maka tetap sah shalatnya menurut jumhur, dan tidak
sah menurut Hanabilah.
2. Memakai kain sutera
Memakai kaian sutera dalam shalat
diharamkan bagi laki-laki saja, tapi tidak bagi perempuan, atau kain yang
terbuat dari emas. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar bin
Khattab Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Janganlah kalian memakai kain sutera, maka sesungguhnya siapa
yang memakainya di dunia ia tidak akan memakainya di akhirat.” (Mutafaq ‘alaih)
3. Mengangkat pandangan ke langit
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
melarang untuk mengangkat pandangan ke langit dalam shalat bahkan mengancamnya.
Dalam Shahih Bukhari dan yang lainnya disebutkan dari anas bin Malik Radiyallahu
‘anhu, dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, “Tidaklah
suatu kaum yang mengangkat pandangannya ke langit dalam shalatnya, malainkan
Allah akan menghilangkan penglihatannya.”
Ini adalah ancaman yang keras dari
RasulullahShalallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan haramnya
mengangkat pandangan ke langit ketika shalat, tapi tidak membatalkan shalat.
4. Membaca
al Qur’an di belakang imam
Maksudnya membaca al Qur’an di belakang
imam adalah, ketika imam sedang membaca al Qur’an pada shalat jahriyah, maka
kita sebagai ma’mum ditekankan untuk mendengarkan dan memahami maknanya, jangan
malah membaca alqur’an sendiri di belakang.
Referensi:
1.
Al Wajiz fie al Fiqh al Islamy oleh DR.
Wahbah az Zuhaily
2.
Al Fiqh al Islamiy wa
Adilatuhu oleh DR. Wahbah az Zuhaily
3.
Minhajul Muslim oleh Abu Bakar Jabir al
Jazairy
4.
Fatwa al Lajnah ad Daimah oleh Syaikh al
Utsaimin
5.
Al Mughni oleh Ibnu Qudamah al Maqdisy
6.
Kitab al Mabsuth oleh
Syaikh as Sarkhasi al Hanafi
7.
http://www.konsultasisyariah.com/lupa-kalau-pakaian-terkena-najis/
OLEH :aL-MUTTAQIN
Comments