Para ulama
telah sepakat bahwa hukum homoseks dan lesbian diharamkan dalam Islam. Pelaku
homoseks harus dijatuhi hukuman. Namun dalam menjatuhkan hukuman terhadap
pelaku homo dan lesbian diperlukan fakta yang jelas, baik dari pengakuan atau
keterangan saksi. Tentang saksi yang dibutuhkan untuk membuktikan perbuatan
homo para ulama berbeda pendapat. Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa saksi homo sama dengan saksi perzinaan, yaitu empat orang
laki-laki yang adil dan tidak terdapat salah satunya perempuan. Adapun
Hanafiyyah berpendapat bahwa saksi homoseks tidak sama dengan saksi zina.
Dengan alasan kemudhorotan yang ditimbulkan oleh homoseks lebih ringan
daripada zina serta tidak menimbulkan percampuran keturunan. Oleh karenanya
untuk membuktikan homo cukup dengan satu orang saksi saja dan tidak penting
untuk menghubungkannya dengan zina. Jika sudah dapat dibuktikan secara
meyakinkan dari fakta yang ada, maka secara hukum islam pelaku homo dapat
dijatuhi hukuman. Apa dan bagaimana hukuman yang harus diterima pelaku humo?
Hal inipun terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama yang tidak lebih
berkisar pada tiga hukuman.
1.
Dihukum mati.
2.
Dihukum seperti hukuman
pelaku zina. Artinya jika pelakunya adalah perjaka (ghairu muhshon), ia
harus didera seratus kali. Namun jika dia sudah kawin (muhshon) dia
harus dirajam sampai mampus.
3.
Diganjar dengan hukuman
ta’zir.
Pendapat
pertama antara lain yang dianut Imam Syafi’i, bahwa pasangan homoseksual
dihukum mati. Pendapat Imam Syafi’i didasari Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Khamsah (perawi hadits yang lima), kecuali Nasa’i, Dari Ibnu Abbas Rasulullah
bersabda,
من
وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفائل والمفعول به
“Siapa yang
mendapatkan orang lain berbuat seperti perbuatan kaum luth (homoseks), maka
bunuhlah pelaku dan yang diperlakukannya (pasangannya)”
Pendapat Imam
Syafi’i di atas juga diperkuat oleh al-Munziri, bahwa Abu Bakar dan Ali pernah
menghukum mati terhadap pasangan homoseks.
Pendapat kedua
dikemukakan oleh al-Awza’i, Abu Yusuf dan lain-lain bahwa hukuman yang harus
diterima oleh pelaku homoseks adalah disamakan dengan hukuman zina, yaitu
dengan cara didera dan di asingkan bagi yang belum kawin (ghairu muhshon).
Sedangkan yang sudah kawin (muhshon) dia dijatuhi hukuman mati. Penetapan ini
dilakukan dengan cara meng-qiyas dengan hukuman zina. Di mana hukuman
zina sebagai asal telah jelas dan telah ada sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam hadits Nabi,
إذا أتى
الرجل الرجل فهما زانيتان
“jika seorang pria
melakukan hubungan seks dengan pria lainnya, maka keduanya dihukumi orang yang
berzina”
Dirinci lagi
dalam hadits yang lain,
حكمه حكم
الزاني يرجم المخصن ويجلد غير المحصن مائة
“Hukuman homo seperti
hukum pelaku zina, jika pelakunya mukhshon, dia dihukum rajam. Jika ghairu
mukhshon dia dihukum dera seratus kali.”
Pendapat ketiga
dikemukakan antara lain oleh Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa pelaku
homoseks dapat dikenakan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan
terhadap suatu kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan kadar
hukumannya oleh al-Qur’an maupun Hadits. Ta’zir bertujuan sebagai
edukatif, berat ringannya hukuman diserahkan kepada kebijakan pengadilan.
(hakim).
Hukum ta’zir
menurut Imam Abu Hanifah ditetapkan kepada pelaku homoseks seperti yang
telah disebutkan diatas karena perilaku homoseks tidak lebih berbahaya
akibatnya jika dibandingkan dengan zina. Homo tidak membuahkan keturunan dan
tidak merusaknya. Maka homoseks menurutnya tidak dapat dihubungkan dengan zina
ditambah hukumannya tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. Maka lebih tepat
jika hukumannya diserahkan kepada hakim (ta’zir).
Imam
al-Syaukani dalam menilai hukuman yang dikemukakan oleh para ulama sebagaimana
tersebut di atas, sampai kepada titik kesimpulan bahwa yang lebih kuat adalah
pendapat pertama yang menghukumi pelaku homo dengan hukuman mati. Karena di
dasari oleh nash shahih (Hadits) yang jelas maknanya. Adapun pendapat
kedua dan ketiga yang mempersamakan hukumannya dengan zina dan ta’zir,
menurut al-Syaukani dipandang lemah kerena bertentangan dengan nash yang
telah menentukan hukuman mati (hukuman had), bukan hukuman ta’zir.
Wallahu
a’lam.
Kampung Damai,
5 Oktober 2019
DAFTAR
PUSTAKA
al-Fiqh ala
Madzahib al-Arba’ah, Oleh: al-Jaziri
al-Halal wal
Haram, Oleh Yusuf al-Qardhawi
Fiqhus Sunnah,
Oleh Sayyid Sabiq
Tafsir
al-Manar, Oleh Rasyid Ridho
Al-Tasyro’
al-Jina’i al-Islami Muqranan bil Qanun al-Wadh’i, Oleh: Abdul Qadir Audah
Comments