Banyak contoh dari salaf yang menceritakakn anak-anak berjiwa pahlawan dan pemberani. Bahkan tercatat secara nyata dalam panggung sejarah, sebagai mana yang diriwayatkan bukhori muslim.
Dari Abdurrahman bin Auf dia berkata, “Ketika aku berada di
barisan pasukan pada perang Badar, aku melihat ke kanan dan kiriku ternyata
nampak ada dua orang anak dari Kaum Anshar yang masih sangat muda”
Salah seorang darinya mengerdipkan matanya kepadaku seraya
berkata; "Wahai paman, apakah paman mengenal Abu Jahal?".
Aku jawab; “Ya. Tapi apa kepentinganmu dengannya nak?”.
“Aku mendapat kabar bahwa dia menghina Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam.
Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya aku melihatnya pasti
tidak akan berpisah jasadku dengan jasadnya sampai siapa diantara kami yang
lebih cepat mati“.
Aku menjadi kagum dengan keberaniannya. Lalu anak yang
satunya lagi mengerdipkan matanya kepadaku lalu berkata kepadaku seperti yang
dikatakan saudaranya tadi. Tidak lama kemudian aku melihat Abu Jahal
bolak-balik di tengah-tengan pasukan, lalu kukatakan kepada kedua anak tadi;
"Itu dia orang yang tadi kalian tanyakan kepadaku?".
Maka keduanya bersigap menyerbu dengan menghunus pedang
masing-masing lalu keduanya menebas Abu Jahal hingga tewas. Kemudian keduanya
mendatangi Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam dan mengabarkannya,
maka Beliau bertanya; "Siapa diantara kalian berdua yang
membunuhnya?".
Maka masing-masing dari keduanya menjawab; "Akulah yang
membunuhnya".
“Apakah kalian sudah membersihkan pedang kalian?".
"Belum".
Maka Beliau melihat pedang keduanya lalu berkata:
"Kalau begitu, kalian berdua yang telah membunuhnya dan salabnya (harta
benda yang melekat pada tubuh musuh saat dibunuh) untuk Mu'adz bin 'Amru bin Al
Jamuh". Kedua anak itu namanya Mu'adz bin 'Afra' dan Mu'adz bin 'Amru bin
Al Jamuh”.
Kisah yang lain,
Ketika Rasulullah mempersiapkan perang Uhud. Beliau
menginspeksi pasukan muslim. Beliau banyak menemui anak-anak yang belum cukup
umur untuk ikut berjihad. Maka, beliau tidak mengizinkan mereka. Salah satu
yang tidak diizinkan namanya Rafi’ bin Khudaij dan Samuroh bin Jundub. Akan
tetapi Rasulullah membolehkan Rafi’ bin Khudaij. Dengan alasan dia lihai dalam
memanah.
Diluar dugaan ternya Samuroh menangis mengadu kepada
ayahnya, “Rasulullah menolak ku, tapi Rafi’ diterima, padahal aku bisa
mengalahkan dia dalam bergulat.” Protes anak itu.
Kemudian Rasulullah menyuruh mereka bergulat. Samurah
menjadi pemenangnya maka Rasulullah mengizinkan juga Samuroh.
KEBERANIAN GENERASI QUR’AN
Anak-anak yang lahir dari rahim generasi shahabat adalah
hadiah Allah yang sangat berharga bagi generasi selanjutnya. Mereka merupakan
permata islam. Permata yang sudah di gosok dengan ujian keimanan. Telah
terpasak kuat keimanan dalam hati yang ketakutannya hanya kepada Allah.
Sehingga mereka adalah qudwah bagi generasi pemberani.
Muncul banyak pertanyaan dalam benak kita. Pendidikan
seperti apa kok mereka bisa seperti itu. Apakah mereka memiliki kekhususan
dibanding yang lain. Tapi ternyata tidak juga. Maka kita dapati mereka adalah
generasi yang mendapat bimbingan al-Qur’an secara langsung dari Nabi. Orang tua
mereka, masyarakat mereka, semuanya telah menjiwai al-Qur’an. Sehingga mereka
adalah masyarakat Qur’ani. Ketika ujian datang, mereka lebih banyak beramal
dari pada berkeluh, banyak melaju dari pada menangis, lebih banyak bergerak
daripada diam ketakutan. Sebab mereka tidak akan takut kecuali kepada Allah.
Sejak dini anak-anak para shahabat telah tertanam jiwa
kepahlawanan, pejuang dan berani. Tentu ini terbangun dari Qudwah yang mereka
lihat dari Orang tua mereka. Tentu ini adalah bentuk didikan yang jauh dari
kerusakan masyarakat. Tentu ini adalah bentuk dari pendidikan yang membiasakan
iman. Pendidikan yang kuat dibangun dengan suri tauladan yang paling baik
sepanjang sejarah. Yaitu Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Qudwah atau panutan perilaku sangat penting bagi tumbuh
kembangnya anak-anak. Para salaf adalah contoh nyata yang akan terus kita
jadikan panutan kemudian kita praktekkan. Kehidupan mereka adalah kehidupan
terbaik sejak awal islam muncul di muka bumi ini.
Jangan hanya dipandang dari sudut peperangan saja. Akan
tetapi keimanan membutuhkan pengorbanan. Besar-kecil pengorbanan bisa menjadi
tolak ukur seberapa kuat keimanan. Artinya sekalipun mereka masih anak-anak
keimanan telah terpatri dalah hati. Terpraktek dalam perilaku. Bahkan anak-anak
sadar betul pengorbanan yang menjadi bukti keimanan. Walaupun mereka masih
anak-anak. Jiwa pahlawannya mereka sudah begitu menggebu.
Mereka adalah generasi yang difirmankan Allah,
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),
jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran:139)
Berarti ini menjadi bukti, betapa kuat pendidikan iman yang
dibangun oleh orang tua mereka. Walaupun masih anak-anak mereka sudah memiliki
jiwa pemberani. Berkorban jiwa, raga dan harta tanpa memilih ragu untuk
kebaikan akhirat.
Lain halnya dengan munafiqin madinah. Sebagaimana Dikisahkan
dalam surat at-Tawbah.
“Dan di antara mereka ada orang yang berkata, “Berilah
aku izin (tidak pergi berperang) dan janganlah engkau (Muhammad) menjadikan aku
terjerumus ke dalam fitnah.” Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam
fitnah. Dan sungguh, Jahannam meliputi orang-orang yang kafir.
Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan, mereka tidak
senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana, mereka berkata, “Sungguh, sejak
semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang),” dan mereka berpaling
dengan (perasaan) gembira.
Katakanlah (Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan
apa yang telah Ditetapkan Allah bagi kami. Dia-lah Pelindung kami, dan hanya
kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.” (QS. At-Tawbah:49-51)
Mereka adalah orang-orang yang lemah iman. Sekalipun sudah
tua secara umur, keimanan masih kosong. Akhirnya yang ada adalah jiwa pengecut.
Jika diminta infak, mereka banyak berkilah banyak kebutuhan. Padahal sebenarnya
keyakinan mereka ‘bahwa Allah maha Kaya’ sangat lemah. Diminta berangkat untuk
berjihad banyak mencari alasan untuk tidak berangkat. Mereka tidak yakin bahwa
‘Allah maha kuat’.
Keimanan yang kuat menjadi landasan utama untuk menjadi
keberanian nyata dalam kehidupan anak-anak. Pun ketika iman lemah, rasa takut
akan merasuk dalam hati menyesak ke dalam dada anak-anak. Menghadapi kehidupan
harus si serahkan sepenuhnya kepada yang menciptakan
kehidupan.
kehidupan.
Keberanian mampu menghidupkan ummat untuk berjaya.
Sebaliknya sifat penakut akan menggoyahkan masyarakat. Merobohkan pilar-pilar
prinsip yang dibangun oleh masyarakat secara mandani. Oleh karena itu jika
sudah tumbuh generasi lemah iman otomatis akan tumbuh masyarakat bermental
lemah. Ummat yang membebek di belakakang ekor ummat lain. Padahal ummat islam
akan mulia dengan kerenanian. Tanpa keberanian Ummat hanya di pandang
Ketetapan ini sudah menjadi sunnatullah,
“Jika kamu tidak berangkat (untuk berperang), niscaya
Allah akan Menghukum kamu dengan azab yang pedih dan Menggantikan kamu dengan
kaum yang lain, dan kamu tidak akan merugikan-Nya sedikit pun. Dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taubah:39)
Lalu apakah kita perlu menunggu kemunculan generasi seperti
mereka? Sama sekali tidak perlu. Yang diperlukan adalah bagai mana kita bisa
menghidupkan generasi seperti mereka ada ditengah-tengah kita.
Mengokohkan iman bagi anak-anak adalah tanggung jawab Orang
tua yang paling utama. Sungguh cukuplah orang tua dikatakan menyengsarakan
anak. Jika dia dibiarkan dalam kesesatan. Jika orang tua tidak menjauhkan dari
kekafiran.
Maka ketika iman telah kuat, anak-anak akan berjalan
menapaki kehidupan tanpa ada yang ditakutkan. bersama iman generasi menjadi
kuat, bersama Allah kita kaya, Bersama Allah kita tinggi. Keberanian itu adalah
keberanian yang bisa mendatangkan ketaatan. Harus ada keberanian untuk
menjadikan ketaatan tetap bertahan dari godaan setan.
Tidak akan ada ketakutan dalam rizki. Toh, Allah yang
menjamin. Tidak ada takut untuk mati. Toh, semua ajal telah ada batasannya.
Tidak ada pengecut, tidak ada rasa takut. Yang ada adalah generasi yang merdeka
dan pemberani. Kuat mental tanpa gentar membangun peradaban yang sarat dengan
iman. Siap menghadapi kedzoliman sebagaimana para pemuda kahfi. Sebagaimana
pasukan badar. Sehingga selaras dengan firman Allah ta’ala, “Ingatlah
wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak
bersedih hati..” (QS. Yunus:62). Wallahu a’lam [*]
Comments