Kata ahl berasal dari kata ahila-ya’halu-ahlan. Al-Ahl artinya
adalah famili, keluarga, kerabat. Ahl ar-rajul artinya adalah istrinya, ahl
ad-dâr artinya penduduk kampung, ahl al-’amr artinya penguasa, ahl al-madzhab
artinya orang-orang yang beragama dengan mazhab tersebut, ahl al-wabar artinya
penghuni kemah (pengembara), ahl al-madar atau ahl al-hadhar artinya orang yang
sudah tinggal menetap.*1)
Dari pengertian di atas, kata ahl jika disambung dengan al-kitâb, Mmaknanya yang paling sesuai pengertiannya secara bahasa, adalah orang-orang yang beragama sesuai dengan al-Kitab. Dengan ungkapan lain, mereka adalah para penganut atau pengikut al-Kitab.
Dari pengertian di atas, kata ahl jika disambung dengan al-kitâb, Mmaknanya yang paling sesuai pengertiannya secara bahasa, adalah orang-orang yang beragama sesuai dengan al-Kitab. Dengan ungkapan lain, mereka adalah para penganut atau pengikut al-Kitab.
Makna
Istilah
Al-Qur’an telah mengecualikan kaum Muslim dari sebutan Ahlul Kitab meskipun kaum Muslim beragama sesuai dengan kitab samawi, yaitu al-Qur’an. Berikutnya, sebutan Ahlul Kitab secara syar’i hanya menunjuk kepada Yahudi dan Nasrani, tidak mencakup selain keduanya.
Kata Ahlul Kitab dinyatakan di dalam 31 ayat al-Qur’an.*2) Al-Qur’an menggunakan kata Ahl al-Kitâb hanya dengan penunjukkan kepada dua golongan, yaitu Yahudi dan Nasrani. Terbukti bahwa semua ayat Ahl al-Kitâb menunjuk kepada dua golongan tersebut. Hal ini dapat kita pahami dari penafsiran para mufasir terhadap ayat-ayat tersebut, juga dari sebab-sebab turunnya.
Pada masa Rasulullah Saw dan masa sahabat terma Ahl al-Kitâb selalu digunakan hanya untuk menunjuk dua komunitas pemeluk agama Yahudi dan Nashrani. Selain dua komunitas tersebut tidak disebut sebagai Ahl al-Kitâb.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahl al-Kitâb hanya Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel, sedangkan di luar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani, tidak termasuk Ahl al-kitâb. Mereka berargumentasi bahwa Nabi Musa a.s. dan Isa a.s. hanya diutus untuk kaumnya, yaitu Bani Israel. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa obyek seruan Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. yang diutus hanya Bani Israel. Akan tetapi, hal itu tidak menunjukkan tidak bolehnya orang di luar Bani Israel mengikuti risalah Taurat dan Injil; juga tidak menunjukkan bahwa pengikut Taurat dan Injil selain Bani Israel tidak termasuk Ahl al-Kitâb. Apalagi bahwa orang-orang Arab (bukan keturunan Bani Israel) pada masa Nabi Saw tetap dimasukkan sebagai bagian Ahl al-Kitâb, di samping karena sebutan Ahl al-Kitâb adalah umum untuk semua orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani.
Imam ath-Thabari, ketika menafsirkansurat
Ali Imran [3] ayat 64, menyatakan, “Ahl al-Kitâb bersifat umum mencakup seluruh
pengikut Taurat dan pengikut Injil. Yang demikian sudah diketahui bersama,
yakni bahwa yang dimaksud dengn Ahl al-Kitâb adalah dua golongan itu
seluruhnya.” Hal senada juga dinyatakan oleh asy-Syaukani dalam tafsir Fath
al-Qadîr.*3)
Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut, menyatakan, “Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh Ahl al-Kitâb, yaitu Yahudi dan Nasrani, serta siapa saja yang berjalan di atas jalan mereka.”*4)
Artinya, setiap orang yang menganut agama Yahudi atau Nasrani, sekalipun bukan keturunan Bani Israel, adalah bagian dari Ahl al-Kitâb.
Ada juga
sebagian kaum Muslim yang beranggapan bahwa sekarang Ahl al-Kitâb sudah tidak
ada. Artinya, orang Yahudi dan Nasrani sekarang bukanlah Ahl al-Kitâb. Mereka
berargumentasi, Ahl al-Kitâb adalah orang Yahudi dan Nasrani pada masa
Rasulullah Saw, atau menjalankan ajaran Taurat dan Injil yang sebenarnya secara
lurus.
Pendapat tersebut kurang tepat. Sebab, penyimpangan orang Yahudi dan Nashrani juga sudah terjadi pada masa Rasul Saw bahkan sudah berlangsung sebelum masa beliau. Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa orang Nasrani pada waktu itu sudah meyakini ide trinitas,*5) meyakini bahwa al-Masih Putra Maryam adalah Allah,*6) meyakini al-Masih adalah anak Allah,*7) menyekutukan Allah dengan menjadikan rahib-rahib dan orang-orang besar mereka sebagai tuhan selain Allah (orang Yahudi juga berperilaku sama),*8) dan penyimpangan Nasrani lainnya masih banyak. Sedangkan orang Yahudi berkeyakinan bahwa Uzair adalah anak Allah,*9) menutupi kebenaran dengan memalsukan isi Taurat,*10) dan banyak penyimpangan lainnya.
Artinya, orang Yahudi dan Nasrani memang sudah menyimpang sejak masa Rasul Saw. Oleh karenanya, mereka dengan jelas digolongkan sebagai orang kafir.*11) Adapun sekarang, penyimpangan mereka bertambah lebih banyak lagi. Namun, status mereka adalah sama dengan pada masa Rasul Saw, yaitu termasuk orang kafir.
Rasul Saw dan para sahabat pada waktu itu mengetahui tentang orang Majusi dan agama mereka. Namun, orang Majusi tidak mereka sebut sebagai Ahl al-Kitâb. Imam Malik bin Anas meriwayatkan bahwa Umar pernah menyebut Majusi lalu berkata, “Saya tidak tahu bagaimana memperlakukan urusan mereka.”
Kenyataan bahwa mereka bukan Ahlul Kitab juga diperkuat oleh fakta bahwa hukum tentang Ahlul Kitab tidak diterapkan semua atas mereka. Hasan bin Muhammad bin ’Ali bin Abi Thalib menuturkan:
Rasulullah Saw menulissurat
kepada orang-orang Majusi Hajar. Beliau menyeru mereka pada Islam. Siapa saja
yang masuk Islam diterima, sedangkan yang tidak, dikenakan atas mereka
kewajiban membayar jizyah, hanya saja sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan
wanita mereka tidak boleh dinikahi. [HR. al-Baihaqi].*12)
Hadis ini menjelaskan perlakuan seperti terhadap Ahlul Kitab dalam hadis Imam Malik di atas, yaitu bahwa perlakuan sama itu tidak dalam semua hal, tetapi hanya dalam masalah jizyah. Artinya, orang Majusi juga dikenai kewajiban membayar jizyah, tetapi mereka termasuk orang-orang musyrik.
Walhasil, Ahlul Kitab secara syar‘i hanyalah orang-orang beragama Yahudi dan Nasrani baik dulu pada masa Rasul Saw dan para sahabat ataupun masa sekarang dan yang akan datang.
Terhadap Ahlul Kitab, Islam memberikan hukum yang berbeda dengan kaum musyrik: sembelihan Ahlul Kitab boleh dimakan dan kaum wanitanya yang muhshanat (yang senantiasa menjaga diri dan kesuciannya) boleh dinikahi, yang menurut banyak ulama harus memenuhi syarat-syarat tertentu. [Majalah al-wa'ie, Edisi 48]
Al-Qur’an telah mengecualikan kaum Muslim dari sebutan Ahlul Kitab meskipun kaum Muslim beragama sesuai dengan kitab samawi, yaitu al-Qur’an. Berikutnya, sebutan Ahlul Kitab secara syar’i hanya menunjuk kepada Yahudi dan Nasrani, tidak mencakup selain keduanya.
Kata Ahlul Kitab dinyatakan di dalam 31 ayat al-Qur’an.*2) Al-Qur’an menggunakan kata Ahl al-Kitâb hanya dengan penunjukkan kepada dua golongan, yaitu Yahudi dan Nasrani. Terbukti bahwa semua ayat Ahl al-Kitâb menunjuk kepada dua golongan tersebut. Hal ini dapat kita pahami dari penafsiran para mufasir terhadap ayat-ayat tersebut, juga dari sebab-sebab turunnya.
Pada masa Rasulullah Saw dan masa sahabat terma Ahl al-Kitâb selalu digunakan hanya untuk menunjuk dua komunitas pemeluk agama Yahudi dan Nashrani. Selain dua komunitas tersebut tidak disebut sebagai Ahl al-Kitâb.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahl al-Kitâb hanya Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel, sedangkan di luar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani, tidak termasuk Ahl al-kitâb. Mereka berargumentasi bahwa Nabi Musa a.s. dan Isa a.s. hanya diutus untuk kaumnya, yaitu Bani Israel. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa obyek seruan Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. yang diutus hanya Bani Israel. Akan tetapi, hal itu tidak menunjukkan tidak bolehnya orang di luar Bani Israel mengikuti risalah Taurat dan Injil; juga tidak menunjukkan bahwa pengikut Taurat dan Injil selain Bani Israel tidak termasuk Ahl al-Kitâb. Apalagi bahwa orang-orang Arab (bukan keturunan Bani Israel) pada masa Nabi Saw tetap dimasukkan sebagai bagian Ahl al-Kitâb, di samping karena sebutan Ahl al-Kitâb adalah umum untuk semua orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani.
Imam ath-Thabari, ketika menafsirkan
Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut, menyatakan, “Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh Ahl al-Kitâb, yaitu Yahudi dan Nasrani, serta siapa saja yang berjalan di atas jalan mereka.”*4)
Artinya, setiap orang yang menganut agama Yahudi atau Nasrani, sekalipun bukan keturunan Bani Israel, adalah bagian dari Ahl al-Kitâb.
Pendapat tersebut kurang tepat. Sebab, penyimpangan orang Yahudi dan Nashrani juga sudah terjadi pada masa Rasul Saw bahkan sudah berlangsung sebelum masa beliau. Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa orang Nasrani pada waktu itu sudah meyakini ide trinitas,*5) meyakini bahwa al-Masih Putra Maryam adalah Allah,*6) meyakini al-Masih adalah anak Allah,*7) menyekutukan Allah dengan menjadikan rahib-rahib dan orang-orang besar mereka sebagai tuhan selain Allah (orang Yahudi juga berperilaku sama),*8) dan penyimpangan Nasrani lainnya masih banyak. Sedangkan orang Yahudi berkeyakinan bahwa Uzair adalah anak Allah,*9) menutupi kebenaran dengan memalsukan isi Taurat,*10) dan banyak penyimpangan lainnya.
Artinya, orang Yahudi dan Nasrani memang sudah menyimpang sejak masa Rasul Saw. Oleh karenanya, mereka dengan jelas digolongkan sebagai orang kafir.*11) Adapun sekarang, penyimpangan mereka bertambah lebih banyak lagi. Namun, status mereka adalah sama dengan pada masa Rasul Saw, yaitu termasuk orang kafir.
Rasul Saw dan para sahabat pada waktu itu mengetahui tentang orang Majusi dan agama mereka. Namun, orang Majusi tidak mereka sebut sebagai Ahl al-Kitâb. Imam Malik bin Anas meriwayatkan bahwa Umar pernah menyebut Majusi lalu berkata, “Saya tidak tahu bagaimana memperlakukan urusan mereka.”
Kenyataan bahwa mereka bukan Ahlul Kitab juga diperkuat oleh fakta bahwa hukum tentang Ahlul Kitab tidak diterapkan semua atas mereka. Hasan bin Muhammad bin ’Ali bin Abi Thalib menuturkan:
Rasulullah Saw menulis
Hadis ini menjelaskan perlakuan seperti terhadap Ahlul Kitab dalam hadis Imam Malik di atas, yaitu bahwa perlakuan sama itu tidak dalam semua hal, tetapi hanya dalam masalah jizyah. Artinya, orang Majusi juga dikenai kewajiban membayar jizyah, tetapi mereka termasuk orang-orang musyrik.
Walhasil, Ahlul Kitab secara syar‘i hanyalah orang-orang beragama Yahudi dan Nasrani baik dulu pada masa Rasul Saw dan para sahabat ataupun masa sekarang dan yang akan datang.
Terhadap Ahlul Kitab, Islam memberikan hukum yang berbeda dengan kaum musyrik: sembelihan Ahlul Kitab boleh dimakan dan kaum wanitanya yang muhshanat (yang senantiasa menjaga diri dan kesuciannya) boleh dinikahi, yang menurut banyak ulama harus memenuhi syarat-syarat tertentu. [Majalah al-wa'ie, Edisi 48]
Catatan
Kaki:
1. Munawir, Kamus al-Munawir hlm. 46, Pustaka Progressif; Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab 1/28; al-Manawi, at-Ta‘ârif 1/105; Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, 1/13.
2. QS 02: 105, 109; QS 03: 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 199; QS 04: 153, 159, 171; QS 05: 15, 19, 59, 65, 68, 77; QS 29: 46; QS 33: 26; QS 57: 29; QS 59: 2, 11; QS 98: 1, 6.
3. Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, 3/303, Dar al-Fikr,
4. Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, 1/372. Dar al-Fikr,
5. Lihat: QS al-Maidah [05]: 73, ide trinitas sendiri dijadikan doktrin resmi gereja dalam Konferensi Nicea pada abad ke-2 M.
6. Lihat: QS al-Maidah [05]: 17.
7. Lihat: QS at-Taubah [09]: 30.
8. Lihat: QS Ali Imran [03]: 64.
9. Lihat: QS at-Taubah [09]: 30.
10. Lihat: QS Ali Imran [03]: 71 dan 78. Lihat juga catatan kaki al-Quran dan terjemahan maknanya oleh Depag, yang mengisyaratkan bahwa orang Nasrani juga melakukan hal sama.
11. Sebagai tambahan, lihat: QS al-Baqarah [02]: 105; al-Hasyr [59]: 2, 11; al-Bayyinah [98] 1,6
12. Al-Qadhi Taqiyyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, hlm. 108, Hizbut Tahrir cet. 4 (Mu’tamadah). 2003.
Comments