1-
Islam
Nash-nash syariah mengkhusukan kewajiban
jihad atas orang-orang beriman saja,
seperti firman Allah Ta’ala :
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى
الْقِتَالِ
“ Hai Nabi, kobarkanlah semangat para
mu'min itu untuk berperang.” [QS Al Anfal :65].
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً
فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي
الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
“ Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu
pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama..” [QS. At Taubah :
122].
2-
Berakal
عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْغُلاَمِ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى
يُفِيْقَ
Dari Aisyah bahwasanya
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda," Pena diangkat dari tiga
kelompok : 1) Orang tidur sampai ia bangun. 2) Anak kecil sampai ia baligh 3) Orang gila sampai ia
sembuh.”[1]
عَنِ عَلِيٍّ
وَ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ (وَعَنِ
الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.
Dari Ali dan Umar
rhadiyallahu anhum dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam beliau
bersabda,” Pena diangkat dari tiga
kelompok : 1) Orang gila sampai ia sembuh, 2) Orang tidur sampai ia bangun, 3)
Anak kecil sampai ia baligh.”[2]
3-
Baligh / Dewasa
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم عَرَضَهُ يَوْمَ
أُحُدٍ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَمْ يُجِزْهُ وَ عَرَضَهُ يَوْمَ
خَنْدَقٍ وَهُوَ ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَهُ.
Shahabat Ibnu Umar
berkata,” Aku dihadapkan kepada Rasulullah pada perang Uhud, saat itu aku
berumur 14 tahun, maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam tidak
memperbolehkanku untuk mengikuti peperangan. Para
perang Khandaq, aku dihadapkan kepada beliau dan umurku sudah 15 tahun, maka
beliau mengizinkanku ikut berperang.”[3]
Imam Urwah bin Zubair mengatakan,”
Rasulullah menolak beberapa shahabat pada perang Badar karena mereka masih
kecil, antara lain ; Abdullah bin Umar, saat itu ia baru 14 tahun, Usamah bin
Zaid, Bara’ bin Azib, Arabah bin Aus, seorang laki-laki dari bani Haritsah,
Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam dan Rafi’ (bin Khudaij—ed). Maka rafi’
memprotes sampai akhirnya Rasululah mengizinkannya ikut berangkat. Beliau
meninggalkan yang lain dan mereka diangkat sebagai penjaga bagi kaum anak-anak
dan wanita di Madinah.”[4]
Sa’ad bin Abi Waqash berkata,”
Rasulullah menolak Umair bin Abi Waqash ---adik Sa’ad---pada perang Badar
karena menganggapnya masih kecil, maka ia pun menanggis sehingga akhirnya
Rasulullah membolehkannya ikut.”[5]
Imam Ibnu Hisyam mengatakan,” Pada
hari itu –Uhud—Rasulullah membolehkan Samurah bin Jundab Al Fazari dan Rafi’
bin Khudaij dari bani Haritsah. Keduanya saat itu berumur 15 tahun. Sebelumnya
beliau menolak keduanya, maka dikatakan kepada beliau ” Ya Rasulullah, Rafi’
itu jago memanah !” Maka beliau pun membolehkannya ikut perang Uhud. Ketika
beliau membolehkan Rafi’, ada yang mengatakan kepada beliau,” Ya Rasulullah,
Samurah itu mengalahkan Rafi’ dalam gulat.” Maka beliau juga membolehkan
Samurah.”[6]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,” Imam
Al-Bukhori meriwayatkan dari Al-Barro’ bin ‘Azib bahwasanya beliau berkata,”
Ketika perang Badar aku dan Ibnu Umar masih dianggap kecil.” Al-Hakim
meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrok dari hadits Sa’ad bin Abi Waqosh,
bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memeriksa pasukan lalu
menolak ‘Umair bin Abi Waqosh, maka ia menangis sehingga Rasulullahpun
mengizinkannya.” Diriwayatkan dalam manaqib Sa’ad bin Khoitsamah bahwasanya dia
dan Zaid bin Haritsah masih dianggap kecil ketika perang Badar. Al-Hakim dan
Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa beliau juga menolak Abu Sa’id Al-Khudri dan Jabir
bin Abdulloh, dan dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan bahwasanya beliau menolak
Ibnu Umar.”[7]
Imam Asy Sya’bi mengatakan,” Seorang
wanita menyerahkan sebilah pedang kepada anaknya pada perang Uhud, ternyata
anak itu belum mampu mengangkat pedangnya maka ibunya mengikatkan pedang itu ke
tangannya. Ibu itu membawa anaknya ke hadapan Rasulullah dan mengatakan,” Ya
Rasululah, ini anakku akan berperang
demi membelamu.” Maka beliau mengatakan (mengarahkan),” Wahai anakku sayang, serbu
ke arah sana .
Wahai anakku sayang, serbu ke arah sini.’ Anak itu terkena luka-luka sehingga
terjatuh, maka Rasulullah mendatanginya dan menanyakan,” Wahai anakku sayang,
kamu merasa sakit ?” Anak itu menjawab,” Tidak, ya Rasulullah !”[8]
Dari Anas bin Malik,” Haritsah
terbunuh dalam perang Badar padahal ia masih kanak-kanak, maka ibunya menghadap
Rasulullah dan bertanya,” Ya Rasulullah, engkau telah mengetahui kedudukan
Haritsah di sisiku. Jika ia berada di surgta, maka aku akan bersabar dan
mengharapkan pahalanya. Namun jika tidak, maka engkau akan melihat apa yang
akan aku perbuat !” Maka Rasululah menghiburnya,” Kasihan ibu ini ---atau
mengatakan : ibu sudah kehilangan akal---apakah hanya satu surga ? Tidak,
bahkan surga yang sangat banyak dan Haritsah berada di surga Firdaus (surga
tertinggi).”[9]
Dari Anas bin Malik bahwasanya
Rasulullah bersabda kepada Abu Thalhah,” Carilah untukku salah seorang anakmu
untuk membantuku sampai aku keluar ke Khaibar. Maka Abu Thalhah memboncengkanku
sedang saat itu aku seorang anak yang menjelang usia baligh, maka aku membantu
(berkhidmah) kepada Rasulullah bila beliau berhenti.”[10]
Dr. Muhammad Khair Haekal
menyimpulkan dari beberapa riwayat tentang keikut sertaan anak-anak dalam
perang, sebagai berikut :
[a]- Rasulullah biasa memeriksa
pasukan yang akan berangkat ke medan
perang untuk mmeriksa kelayakan fisik pasukan. Bila beliau melihat anak kecil
yang kelihatannya tidak mampu untuk berperang, maka beliau mengeluarkan anak
tersebut dari pasukan sekalipun terkadang sudah mencapai usia 15 tahun. Tetapi
bila mereka mempunyai keahlian perang tertentu, beliau memasukkannya ke dalam
pasukan. Berdasar hal ini, selain usia yang telah mencapai 15 tahun (pertanda
baligh) ; faktor kelayakan fisik dan kemampuan perang juga diperhatikan untuk
bisa bergabungnya dalam barisan pasukan. Hal ini seperti pada kisah Rafi’ dan
Samurah.
[b]- Pemimpin syar’i berhak menentukan anak
kecil yang boleh ikut berperang dan anak kecil yang tidak boleh berperang,
setelah melihat berbagai pertimbangan. Seperti kisah seorang ibu yang
menyerahkan anaknya untuk membela Rasulullah pada perang Uhud, karena banyaknya
pasukan yang mundur, tercerai berai dan sedikitnya shahabat yang membentengi
Rasulullah. Begitu juga kisah Umair bin Abi Waqash.
[c]- Anak-anak yang bersemangat ikut
perang dan tidak diperbolehkan berangkat berperang, terkadang diberi tugas yang
masih berkaitan dengan perang seperti menjaga dan mengawal kaum wanita,
anak-anak dan orang tua dari kemungkinan serangan musuh dari luar ataupun
gangguan orang-orang munafik dan musuh dari dalam.
[d]- Terkadang anak-anak
diperbolehkan bergabung dengan pasukan yang berangkat berperang dan menyaksikan
jalannya perang, bukan untuk ikut terlibat perang, melainkan untuk tujuan lain
; seperti khidmah dan membiasakan anak menyaksikan jalannya pertempuran
sehingga saat baligh tidak terkejut dan merasa asing dengan dunia perang. Ini
seperti kisah Anas bin Malik yang berkhidmah kepada Rasulullah dalam perang
Khaibar, atau Haristah bin Suraqah, si anak kecil yag terbunuh dalam perang
Badar saat menyaksikan jalannya
pertempuran.
[e]- Beberapa riwayat yang
menyebutkan bahwa Rasulullah memberi anak-anak bagian dari harta Ghanimah,
nbaik berwujud saham (1 bagian penuh)
seperti bagian laki-laki dewasa, ataupun dalam bentuk radhah
(pembagian yang tidak mencapai satu bagian) menunjukkan adanya keikut sertaan
anak-anak dalam beberapa perang Rasulullah ; karena ghanimah hanya diberikan
kepada orang-orang yang hadir dalam perang, baik terlibat langsung perang
maupun tidak.
Seperti juga kaum wanita, Dr.
Muhammad Kahir Haekal berpendapat bahwa anak-anak selayaknya ditempatkan dalam
barisan tentara cadangan.[11]
4-
Laki-laki.
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللهِ, عَلَى النّْسَاءِ جِهَادٌ ؟ قَالَ :نَعَمْ
عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ اْلحَجُّ وَ الْعُمْرَةُ.
Aisyah berkata,” Ya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apakah atas wanita ada kewajiban jihad
?” Beliau menjawab,” Ya, bagi wanita ada kewajiban jihad (yaitu jihad ) tanpa perang, yaitu haji dan umrah.”[12]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ
الْعَمَلِ أَفَلاَ نُجَاهِدُ ؟ فَقاَلَ لَكُنَّ
أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُوْرٌ.
Aisyah
berkata,” Ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kami melihat jihad itu
seutama-utama amal, apakah kami tidak ikut berjihad ?” Beliau menjawab,” Bagi
kalian ada jihad yang paling utama yaitu haji yang mabrur.”[13]
Dalam riwayat kain dengan lafal ;
يَا
رَسُولَ اللهِ, أَلاَ نَغْزُو وَ نُجَاهِدُ مَعَكُمْ ؟ فَقَالَ لَكُنَّ أَحْسَنُ
الْجِهَادِ وَ أَجْمَلُهُ الْحَجُّ حَجٌ مَبْرُوْرٌ. قَالَتْ عَائِشَةَ : فَلاَ
أَدَعُ الْحَجَّ بَعْدَ إِذْ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللهِ.
Aisyah bertanya kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,” Bolehkah kami ikut berjihad dan
berperang bersma anda ?” Beliau menjawab,” Bagi kalian jihad yang paling baik
dan paling indah,yaitu haji mabrur.” Aisyah berkata,” Maka saya tidak pernah
meninggalkan haji setelah mendengar hal ini dari Rasulullah.”[14]
Meskipun demikian, kaum perempuan boleh juga ikut hadir
dalam medan perang untuk membantu di bagian
belakang dengan merawat yang terluka, mengobati yang sakit, menyediakan makanan
dan menghalau kaum muslimin yang mencoba lari dari medan perang.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ
اْلأَنْصَارِيَةَ قَالَتْ : غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم
سَبْعَ غَزَوَاتٍ أَخْلُفُهُمْ فِي رِحَالِهِمْ فَأَصْنَعُ لَهُمُ الطَّعَامَ وَ
أُدَاوِي الْجَرْحَى وَ أَقُومُ عَلىَ الْمَرْضَى.
Dari Ummu Athiyah Al Anshariyah ia
berkata,” Saya ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali. Saya
berada di kemah-kemah mereka (kaum muslimin) ; membuat makanan untuk mereka,
mengobati yang terluka dan merawat yang sakit.”[15]
عَنِ ابَنِ عَبَاسٍ قَالَ :
كُنْتَ سَأَلْتَنِي هَلْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَغْزُو
باِلنِّسَاءِ ؟ وَقَدْ كَانَ يَغْزُو بِهِنَّ فَيُدَاوِيْنَ الْجَرْحَى وَ
يُحْذَيْنَ مِنَ الْغَنِيْمَةِ وَ أَمَّا بِسَهْمٍ فَلَمْ يَضْرِبْ لَهُنَّ.
Dari Ibnu Abbas ia berkata,” Anda
bertanya kepadaku apakah kaum wanita juga ikut berperang bersama Rasulullah ?
Ya, beliau berperang bersama mereka ; mereka mengobati orang-orang yang terluka
dan diberi sedikit bagian dari ghanimah, namun beliau tidak memberi mereka satu
bagian penuh dari ghanimah.”[16]
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ أُمَّ
سُلَيْمٍ اتَّخَذَتْ خَنْجَرًا يَوْمَ حُنَيْنٍ فَكَانَ مَعَهَا فَرَآهَا أَبُو
طَلْحَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه و سلم هَذِهِ أُمُّ سُلَيْمٍ
مَعَهَا خَنْجَرٌ! فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَا
هَذَا الْخَنْجَرُ ؟ قَالَتْ :
اتَّخَذَتْهُ إِنْ دَنَا مِنِّي أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ بَقَرْتُ بِهِ
بَطْنَهُ فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَضْحَكُ.
Dari Anas bahwasanya Ummu Sulaim
(ibunya) membawa sebilah khanjar ---pedang pendek---pada perang Hunain. Kebetulan
Abu Thalhah (suaminya) melihatnya, maka ia melapor kepada Rasulullah,” Ya
Rasulullah, Ummu Sulaim membawa khanjar !” Maka Rasulullah bertanya,” Untuk apa
khanjar ini ?” Ummu Sulaim menjawab,” Jika ada orang musyrik yang mendekat, aku
akan membelah perutnya dengan khanjar ini ! Rasulullah pun tersenyum.”[17]
Imam Ar-Rofi’I berkata,” Imam boleh mengizinkan
perempuan dan anak-anak yang mendekati dewasa untuk menyertai peperangan ;
untuk mengambilkan air minum dan mengobati orang yang terluka. Imam tidak boleh mengijinkan orang gila
bagaimanapun keadaannya untuk ikut berperang. Dan jihad tidak wajib bagi orang
banci yang musykil karena ia masih mengandung kemungkinan perempuan.” [18]
Mayoritas ulama
menyatakan kaum wanita juga wajib berangkat berperang ketika terjadi mobilisasi
umum --–seperti saat negara Islam diserang musuh---, berdasar keumuman ayat:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا
بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَالِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
” Berangkatlah kalian
untuk berperang baik dalam kondisi ringan maupun berat.” [QS. At Taubah ; 41].
Imam Al Kasani berkata, ”Jika
mobilisasi umum karena musuh menyerang suatu negeri maka jihad menjadi fardhu ‘ain, wajib atas setiap
individu muslim yang mampu berdasar firman Allah Ta’ala QS. At Taubah : 41,
maka seorang budak keluar tanpa harus izin pada tuannya, wanita keluar tanpa
harus izin suaminya.... demikian juga dibolehkan anak keluar tanpa izin kedua
orang tuanya.[19]
Sebagian ulama
kontemporer seperti syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, Dr. Abdullah bin Ahmad
Al Qadiri dan Dr. Muhammad Khair Haikal berpendapat bahwa kaum wanita tetap
tidak wajib berangkat berperang meskipun pada saat jihad telah menjadi fardhu
‘ain, seperti saat mobilisasi umum dan saat musuh mentyerang sebuah wilayah
Islam. Menurut keduanya. diketahui dari sirah nabawiyah dan perjalanan umat Islam
selanjutnya diketahui keikut sertaan mereka dalam mobilisasi umum dan perang
defensive menunjukkan berjihad bagi kaum wanita hukumnya boleh / sunah, bukan
wajib. [20]
As Sunah memang
menunjukkan bahwa kaum wanita tidak harus berangkat berjihad sekalipun dalam
kondisi jihad fardhu ‘ain, seperti datangnya serangan musuh dalam perang Uhud
dan Khandaq. Bahkan dalam as sunah ditegaskan dalam kondisi mobilisasi umumpun
mereka, seperti perang Tabuk, kaum wanita juga tidak harus keluar berjihad.
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَاصٍ قَالَ (خَلَّفَ رَسُولُ اللهِ عَلِيَّ
بْنَ أَبِي طَالِبٍ فِي غَزْوَةِ تَبُوكٍ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ, تُخَلِّفُنِي
فِي النِّسَاءِ وَ الصِّبْيَانِ. فَقاَلَ : أَمَّا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي
بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى, غَيْرَ أَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي)
Dari Sa’ad bin Abi Waqash ia berkata,” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan Ali dalam
perang Tabuk (menugaskannya berjaga di Madinah-ed). Maka ia mengadu,” Ya
Rasulullah, engkau meninggalkanku bersama wanita dan anak-anak ?” Beliau
bersabda,” Apakah kau tidak rela kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun
bagi Musa ? (bedanya) hanya tidak ada Nabi sesudahku.”[21]
Meski demikian, para ulama tetap menyatakan boleh saja
seorang wanita mengangkat senjata dan terlibat dalam peperangan. Imam Ibnu
Bathal mengatakan tentang hadits Aisyah yang menyatakan jihad kaum wanita
adalah haji,” Hadits Aisyah ini menunjukkan bahwa jihad tidak wajib atas
perempuan, namun bukan berarti sabda beliau “jihad kalian adalah haji” mereka
tidak boleh berthathawu’ (melakukan amalan sunah) jihad.”[22]
Sunah dan sirah
nabawiyah menunjukkan peran serta beberapa wanita dalam beberapa peperangan, seperti Ummu Amaroh yang bertempur pada perang Uhud, Ummu Suliam yang
memegang Khanjar dalam perang hunain,
Nasibah bintu Ka’ab yang kehilangan tangannya dalam perang Yamamah, para wanita
yang bertempur dalam perang Yarmuk karena serangan tentara romawi mencapai
barisan belakang tentara Islam, dan kisah-kisah lain di masa shahabat yang
disebutkan oleh buku-buku sejarah. Dalam hal ini, Dr. Muhammad Khair Haekal
berpandangan bahwa kalaulah kaum wanita mendapat tempat dalam tentara Islam,
maka sebaiknya mereka ditempatkan dalam barisan tentara cadangan.[23]
5-
Merdeka
Seorang budak tidak
wajib berjihad karena harta dan jiwanya menjadi milik tuannya, sedangkan jihad
memerlukan pengorbanan nyawa dan harta, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي
سَبِيلِ اللهِ
“ Dan berjihadlah dengan harta dan nyawa kalian.”
[QS. At Taubah :41].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم ( لِلْعَبْدِ الْمَمْلُوْكِ الصَّالِحِ
أَجْرَانِ). وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
وَ الْحَجُّ وَ بِرُّ أُمِّي لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوْتَ وَ أَنَا مَمْلُوكٌ.
Dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Bagi budak yang sholih ada
dua pahala.” Abu Hurairah berkata,” Demi Dzat yang nyawaku berada di
tangan-Nya, kalaulah bukan karena jihad fi sabilillah, haji dan taat kepada ibu
tentulah aku senang mati dalam keadaan sebagai budak.”[24]
Ibnu Hajar berkata
:
وإنما استثنى
أبو هريرة هذه الأشياء لأن الجهاد والحج يشترط فيهما إذن السيد وكذلك بر الأم فقد
يحتاج فيه إلى إذن السيد "
” Abu Hurairah
mengecualikan hal-hal ini saja karena
jihad dan haji itu disyaratkan adanya izin tuan. Begitu juga dengan
berbakti pada Ibu terkadang perlu ijin kepada tuan.”[25]
Meskipun demikian,
seorang budak boleh juga terlibat dalam perang jika mendapat izin tuannya.
Dalam As Sunah disebutkan :
عَنْ
عُمَيْرٍمَوْلىَ أَبِي اللَّحْمِ قَالَ ( غَزَوْتُ مَعَ مَوْلاَيَ يَوْمَ خَيْبَرَ
وَ أَناَ مَمْلُوكٌ فَلَمْ يُقَسِّمْ لِي مِنَ الْغَنِيمَةِ وَ أُعْطِيْتُ مِنْ
حُرْثِي الْمَتَاعِ سَيْفًا وَ كُنْتُ أَجُرُّهُ إِذَا تَقَلَّدْتُهُ.
Umair budaknya Abu Lahm
berkata,” Saya ikut perang Khaibar bersama para tuanku, padahal saat itu aku
masih budak. Beliau tidak memberiku bagian dari ghanimah, namun memberiku
bagian sebilah pedang. Aku menyeretnya dan diikat di tanganku (karena masih
kecil—ed).” Dalam riwayat lain,” Saya ikut perang Khaibar bersama para tuanku
(bani Lahm) maka mereka mengadukan perihal saya kepada Rasulullah Shollallahu
‘alaihi wasallam. Beliau memerintahkan saya (ikut perang), maka sebuah pedang
diikat dengan tanganku dan aku menyeretnya (karena masih kecil-pent). Kemudian
beliau diberitahu bahwa saya seorang budak, maka beliau memerintahkan saya
menjaga perbekalan.”[26]
6-
Sehat fisik (tidak cacat
) dan mampu melawan musuh
Allah Ta’ala berfirman :
لاَ يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ
اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ
اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا
عَظِيمًا
“ Tidaklah sama antara mu’min yang tidak turut berperang yang
tidak mempunyai udzur dengan mu’min yang turut berjihad di jalan Allah dengan
harta dan nyawa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad di jalan-Nya
atas orang yang duduk-duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah
menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
atas orang yang duduk-duduk dengan pahala yang besar.” [QS. An-Nisa’:95].
لَيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى
حَرَجٌ وَلاَ عَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
“ Tiada dosa atas orang yang buta, orang yang
pincang dan sakit apabila mereka tidak ikut berjihad.” [QS. Al Fath: 17].
Imam Ibnu Qudamah
berkata,” Tidak cacat artinya tidak buta, tidak pincang dan tidak sakit. Tidak
cacat ini merupakan syarat (wajibnya jihad—ed) berdasarkan firman Alloh:
لَيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ
وَلاَعَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
“ Tiada dosa atas orang yang buta, orang
yang pincang dan sakit apabila mereka tidak ikut berjihad…...” [QS. Al Fath :
17].
Karena udzur-udzur ini menghalangi
jihad. Adapun buta dan pincang, yang menjadi penghalang adalah jika hal itu
parah yang menyebabkan tidak bisa berjalan dan menaiki kendaraan, seperti buntung selamanya dan yang lainnya.
Adapun jika cacatnya ringan masih memungkinkan untuk menaiki kendaraan dan
berjalan, yang menjadi alasan adalah beratnya musuh maka keadaan seperti ini
tidak menggugurkan kewajiban jihad karena ia masih memungkinkan untuk berjihad,
seperti halnya dengan orang yang buta sebelah.
Begitu pula sakit yang menggugurkan kewajiban jihad adalah sakit yang
parah, adapun penyakit yang ringan tidaklah menggugurkan kewajiban jihad,
seperti sakit gigi dan pusing-pusing sedikit, hal ini tidak menggugurkan
kewajiban jihad, karena hal itu tidak memberatkan jika berjihad sebagaimana
halnya orang yang buta sebelah.” [27]
Imam ‘Alaud Din Al-Kasani berkata,”
Pasal. Orang-orang yang terkena kewajiban jihad. Sesungguhnya jihad tidak
diwajibkan kecuali kepada orang yang mampu melaksanakannya, barang siapa tidak
mempunyai kemampuan maka ia tidak wajib untuk melaksanakan jihad, karena jihad
adalah mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan dalam berperang, atau bekerja
keras (bersungguh-sungguh) dalam berperang. Bagaimana orang yang tidak
mempunyai kekuatan bisa mengerahkan kekuatan dan berbuat ?. Oleh karena itu
jihad tidak diwajibkan kepada orang buta, orang pincang, orang tua, orang sakit
dan orang lemah yang tidak mempunyai harta. Alloh berfirman:
لَيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى
حَرَجٌ وَلاَ عَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
“ Tiada dosa atas orang yang buta, orang yang
pincang dan sakit apabila mereka tidak ikut berjihad…...” [QS. Al Fath: 17].
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَآءِ
وَلاَعَلَى الْمَرْضَى وَلاَعَلَى الَّذِينَ لاَيَجِدُونَ مَايُنفِقُونَ حَرَجٌ
إِذَا نَصَحُوا للهِ وَرَسُولِهِ
“ Tiada dosa lantaran tidak ikut berjihad bagi orang yang sakit
atas orang-orang yang tidak mendapatkan biaya apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. At Taubah :91).
Dalam ayat ini Alloh telah mengizinkan mereka yang tersebut dalam
ayat ini untuk tidak ikut berjihad dan Alloh tidak menyalahkan mereka. Jihad
juga tidak diwajibkan kepada anak-anak dan perempuan, karena umumnya fisik
mereka tidak mampu memikul beban jihad. Atas dasar ini, apabila pasukan perang
(Islam) diserang oleh sekelompok orang-orang musyrik ; mereka tidak mampu
melawan musuh dan khawatir akan terbunuh, maka mereka boleh lari bergabung
dengan kaum muslimin yang berada di daerah lain atau bergabung dengan pasukan
kaum muslimin yang lain.”[28]
7-
Mempunyai biaya
Alloh Ta’ala berfirman:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا
بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَالِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“ Berangkatlah berperang baik dalam keadaan ringan
maupun berat dan berjihadlah dengan harta dan nyawa kalian.” [QS. At Taubah
:41].
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَآءِ
وَلاَعَلَى الْمَرْضَى وَلاَعَلَى الَّذِينَ لاَيَجِدُونَ مَا يُنفِقُونَ
حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا للهِ وَرَسُولِهِ مَاعَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ
وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ. وَلاَعَلَى الَّذِينَ إِذَا مَآأَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ
قُلْتَ لآَأَجِدُ مَآأَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوا وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ
الدَّمْعِ حَزَنًا أَلاَّيَجِدُوا مَايُنفِقُونَ.
“ Tiada dosa lantaran tidak ikut berjihad bagi orang yang sakit
atas orang-orang yang tidak mendapatkan biaya apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang baik. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (91) Dan tiada
dosa pula atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu
memberi mereka kendaraan lalu kamu berkata,” Aku tidak memperoleh kendaraan
untuk mengangkutmu.”Lalu mereka kembali sedang air mata mereka bercucuran
karena sedih lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.”
[QS. At-Taubah :91-92].
Imam Ibnu Qudamah berkata,” Karena jihad
tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengan menggunakan alat, maka hal itu
dianggap sebagai kemampuan (syarat mempunyai biaya—ed). Jika jihad tidak
menempuh jarak sejauh perjalanan sholat diqoshor, maka disyaratkan untuk
memiliki (a)perbekalan, (b) nafkah untuk keluarga selama ditinggal, dan (c)
senjata untuk berperang, sedang kendaraan tidak menjadi perhitungan lagi (tidak
disyaratkan). Dan jika jihad menempuh jarak qoshor sholat, maka kendaraan
menjadi perhitungan. [Beliau lalu berhujjah dengan dua ayat di atas.]”[29]

[1] - At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041, Ahmad
6/100,144. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu
Majah no. 1673.
[2] - Ahmad, Al Hakim, Abu Daud. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih
Jami’ Shaghir no. 3512, dan dalam Irwaul Ghalil Takhriju Manari Sabil no. 297,
984, dan 2043 dari Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban dan Daruquthni.
[4] - HR. Baihaqi 9/22. Ibnu Asakir dalam Kanzul Ummal 10/438 no. 30063,
dari Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 21/20 dan Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah
Syar’iyah 2/1027.
[5] - Ibnu Asakir dalam Kanzul
Ummal 10/411 no. 29990, dari Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah
2/1027.
[7] - Catatan kaki dalam Al Aziz Syarhul Wajiz (Asy-Syarhul
Kabir) 11/355, tahqiq ; Syaikh Ali Muhammad Mu’awidh dan Syaikh Adil Ahmad
Abdul Maujud, Daarul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, cet 1 ; 1417 H / 1997 M.
[8] - HR. Ibnu Abi Syaibah 14/401
no. 18629, Kanzul Ummal 10/438 no. 30062, dari Al Jihaadu wal Qitaalu Fi
Siyasah Syar’iyah 2/1026-1027.
[12] - HR. Ibnu Majah Kitabul Manasik no. 2901 ,
Ahmad 6/165, Daruquthni no 282. dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Irwaul
Ghalil no. 981 dan 1185 serta Shahih Sunan Ibni Majah no. 2362.
[15] - HR. Muslim kitabul Jihad no. 4690, Ibnu majah kitabul Jihad no.
2856, dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 2323.
[16] - HR. Muslim Kitabul Jihad no. 4684, Abu daud kitabul Jihad no. 2727,
Ahmad 1/248, Baihaqi 6/332, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil
no. 1236.
[21] - HR. Bukhari kitabul Jihad No. 4416, Muslim
Kitabu fadhaili Shahabah no. 6218, Ahmad
1/170, Irwaul Ghalil no. 1188.
[26] - Abu Daud no. 2730, Ibnu Majah no. 2855, Ibnu Hiban 2669, Baihaqi
6/332, Ahmad 5/223, dishahihkan syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil no. 1234
dan Shahih Sunan Ibni Majah no. 2322.,
Comments