Skip to main content

SYARAT KEWAJIBAN JIHAD


Para ulama menyebutkan bahwa mukalaf yang terkena kewajiban jihad adalah mereka yang memenuhi beberapa persyaratan, yaitu ;

1-       Islam
Nash-nash syariah mengkhusukan kewajiban jihad  atas orang-orang beriman saja, seperti firman Allah Ta’ala :
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ
“ Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang.” [QS Al Anfal :65].
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“ Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama..” [QS. At Taubah : 122].

2-   Berakal
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْغُلاَمِ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda," Pena diangkat dari tiga kelompok : 1) Orang tidur sampai ia bangun. 2) Anak kecil sampai ia baligh 3) Orang gila sampai ia sembuh.”[1]
عَنِ عَلِيٍّ وَ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ (وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.
Dari Ali dan Umar rhadiyallahu anhum dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,”  Pena diangkat dari tiga kelompok : 1) Orang gila sampai ia sembuh, 2) Orang tidur sampai ia bangun, 3) Anak kecil sampai ia baligh.”[2]
3-   Baligh / Dewasa
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَمْ يُجِزْهُ وَ عَرَضَهُ يَوْمَ خَنْدَقٍ وَهُوَ ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَهُ.
Shahabat Ibnu Umar berkata,” Aku dihadapkan kepada Rasulullah pada perang Uhud, saat itu aku berumur 14 tahun, maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam tidak memperbolehkanku untuk mengikuti peperangan. Para perang Khandaq, aku dihadapkan kepada beliau dan umurku sudah 15 tahun, maka beliau mengizinkanku ikut berperang.”[3]
Imam Urwah bin Zubair mengatakan,” Rasulullah menolak beberapa shahabat pada perang Badar karena mereka masih kecil, antara lain ; Abdullah bin Umar, saat itu ia baru 14 tahun, Usamah bin Zaid, Bara’ bin Azib, Arabah bin Aus, seorang laki-laki dari bani Haritsah, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam dan Rafi’ (bin Khudaij—ed). Maka rafi’ memprotes sampai akhirnya Rasululah mengizinkannya ikut berangkat. Beliau meninggalkan yang lain dan mereka diangkat sebagai penjaga bagi kaum anak-anak dan wanita di Madinah.”[4]
Sa’ad bin Abi Waqash berkata,” Rasulullah menolak Umair bin Abi Waqash ---adik Sa’ad---pada perang Badar karena menganggapnya masih kecil, maka ia pun menanggis sehingga akhirnya Rasulullah membolehkannya ikut.”[5]
Imam Ibnu Hisyam mengatakan,” Pada hari itu –Uhud—Rasulullah membolehkan Samurah bin Jundab Al Fazari dan Rafi’ bin Khudaij dari bani Haritsah. Keduanya saat itu berumur 15 tahun. Sebelumnya beliau menolak keduanya, maka dikatakan kepada beliau ” Ya Rasulullah, Rafi’ itu jago memanah !” Maka beliau pun membolehkannya ikut perang Uhud. Ketika beliau membolehkan Rafi’, ada yang mengatakan kepada beliau,” Ya Rasulullah, Samurah itu mengalahkan Rafi’ dalam gulat.” Maka beliau juga membolehkan Samurah.”[6]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,” Imam Al-Bukhori meriwayatkan dari Al-Barro’ bin ‘Azib bahwasanya beliau berkata,” Ketika perang Badar aku dan Ibnu Umar masih dianggap kecil.” Al-Hakim meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrok dari hadits Sa’ad bin Abi Waqosh, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memeriksa pasukan lalu menolak ‘Umair bin Abi Waqosh, maka ia menangis sehingga Rasulullahpun mengizinkannya.” Diriwayatkan dalam manaqib Sa’ad bin Khoitsamah bahwasanya dia dan Zaid bin Haritsah masih dianggap kecil ketika perang Badar. Al-Hakim dan Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa beliau juga menolak Abu Sa’id Al-Khudri dan Jabir bin Abdulloh, dan dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan bahwasanya beliau menolak Ibnu Umar.”[7]
Imam Asy Sya’bi mengatakan,” Seorang wanita menyerahkan sebilah pedang kepada anaknya pada perang Uhud, ternyata anak itu belum mampu mengangkat pedangnya maka ibunya mengikatkan pedang itu ke tangannya. Ibu itu membawa anaknya ke hadapan Rasulullah dan mengatakan,” Ya Rasululah,  ini anakku akan berperang demi membelamu.” Maka beliau mengatakan (mengarahkan),” Wahai anakku sayang, serbu ke arah sana. Wahai anakku sayang, serbu ke arah sini.’ Anak itu terkena luka-luka sehingga terjatuh, maka Rasulullah mendatanginya dan menanyakan,” Wahai anakku sayang, kamu merasa sakit ?” Anak itu menjawab,” Tidak, ya Rasulullah !”[8]
Dari Anas bin Malik,” Haritsah terbunuh dalam perang Badar padahal ia masih kanak-kanak, maka ibunya menghadap Rasulullah dan bertanya,” Ya Rasulullah, engkau telah mengetahui kedudukan Haritsah di sisiku. Jika ia berada di surgta, maka aku akan bersabar dan mengharapkan pahalanya. Namun jika tidak, maka engkau akan melihat apa yang akan aku perbuat !” Maka Rasululah menghiburnya,” Kasihan ibu ini ---atau mengatakan : ibu sudah kehilangan akal---apakah hanya satu surga ? Tidak, bahkan surga yang sangat banyak dan Haritsah berada di surga Firdaus (surga tertinggi).”[9]
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda kepada Abu Thalhah,” Carilah untukku salah seorang anakmu untuk membantuku sampai aku keluar ke Khaibar. Maka Abu Thalhah memboncengkanku sedang saat itu aku seorang anak yang menjelang usia baligh, maka aku membantu (berkhidmah) kepada Rasulullah bila beliau berhenti.”[10]
Dr. Muhammad Khair Haekal menyimpulkan dari beberapa riwayat tentang keikut sertaan anak-anak dalam perang, sebagai berikut :
[a]- Rasulullah biasa memeriksa pasukan yang akan berangkat ke medan perang untuk mmeriksa kelayakan fisik pasukan. Bila beliau melihat anak kecil yang kelihatannya tidak mampu untuk berperang, maka beliau mengeluarkan anak tersebut dari pasukan sekalipun terkadang sudah mencapai usia 15 tahun. Tetapi bila mereka mempunyai keahlian perang tertentu, beliau memasukkannya ke dalam pasukan. Berdasar hal ini, selain usia yang telah mencapai 15 tahun (pertanda baligh) ; faktor kelayakan fisik dan kemampuan perang juga diperhatikan untuk bisa bergabungnya dalam barisan pasukan. Hal ini seperti pada kisah Rafi’ dan Samurah.
 [b]- Pemimpin syar’i berhak menentukan anak kecil yang boleh ikut berperang dan anak kecil yang tidak boleh berperang, setelah melihat berbagai pertimbangan. Seperti kisah seorang ibu yang menyerahkan anaknya untuk membela Rasulullah pada perang Uhud, karena banyaknya pasukan yang mundur, tercerai berai dan sedikitnya shahabat yang membentengi Rasulullah. Begitu juga kisah Umair bin Abi Waqash.
[c]- Anak-anak yang bersemangat ikut perang dan tidak diperbolehkan berangkat berperang, terkadang diberi tugas yang masih berkaitan dengan perang seperti menjaga dan mengawal kaum wanita, anak-anak dan orang tua dari kemungkinan serangan musuh dari luar ataupun gangguan orang-orang munafik dan musuh dari dalam.
[d]- Terkadang anak-anak diperbolehkan bergabung dengan pasukan yang berangkat berperang dan menyaksikan jalannya perang, bukan untuk ikut terlibat perang, melainkan untuk tujuan lain ; seperti khidmah dan membiasakan anak menyaksikan jalannya pertempuran sehingga saat baligh tidak terkejut dan merasa asing dengan dunia perang. Ini seperti kisah Anas bin Malik yang berkhidmah kepada Rasulullah dalam perang Khaibar, atau Haristah bin Suraqah, si anak kecil yag terbunuh dalam perang Badar  saat menyaksikan jalannya pertempuran.
[e]- Beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah memberi anak-anak bagian dari harta Ghanimah, nbaik berwujud saham (1 bagian penuh)  seperti bagian laki-laki dewasa, ataupun dalam bentuk radhah (pembagian yang tidak mencapai satu bagian) menunjukkan adanya keikut sertaan anak-anak dalam beberapa perang Rasulullah ; karena ghanimah hanya diberikan kepada orang-orang yang hadir dalam perang, baik terlibat langsung perang maupun tidak. 
Seperti juga kaum wanita, Dr. Muhammad Kahir Haekal berpendapat bahwa anak-anak selayaknya ditempatkan dalam barisan tentara cadangan.[11]

4-                         Laki-laki.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللهِ, عَلَى النّْسَاءِ جِهَادٌ ؟ قَالَ :نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ اْلحَجُّ وَ الْعُمْرَةُ.
Aisyah berkata,” Ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apakah atas wanita ada kewajiban jihad ?” Beliau menjawab,” Ya, bagi wanita ada kewajiban jihad (yaitu  jihad ) tanpa perang, yaitu haji dan umrah.”[12]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلاَ نُجَاهِدُ ؟ فَقاَلَ لَكُنَّ  أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُوْرٌ.
Aisyah berkata,” Ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kami melihat jihad itu seutama-utama amal, apakah kami tidak ikut berjihad ?” Beliau menjawab,” Bagi kalian ada jihad yang paling utama yaitu haji yang mabrur.”[13] Dalam riwayat kain dengan lafal ;
يَا رَسُولَ اللهِ, أَلاَ نَغْزُو وَ نُجَاهِدُ مَعَكُمْ ؟ فَقَالَ لَكُنَّ أَحْسَنُ الْجِهَادِ وَ أَجْمَلُهُ الْحَجُّ حَجٌ مَبْرُوْرٌ. قَالَتْ عَائِشَةَ : فَلاَ أَدَعُ الْحَجَّ بَعْدَ إِذْ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللهِ.   
Aisyah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,” Bolehkah kami ikut berjihad dan berperang bersma anda ?” Beliau menjawab,” Bagi kalian jihad yang paling baik dan paling indah,yaitu haji mabrur.” Aisyah berkata,” Maka saya tidak pernah meninggalkan haji setelah mendengar hal ini dari Rasulullah.”[14]
Meskipun demikian, kaum perempuan boleh juga ikut hadir dalam medan perang untuk membantu di bagian belakang dengan merawat yang terluka, mengobati yang sakit, menyediakan makanan dan menghalau kaum muslimin yang mencoba lari dari medan perang.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ اْلأَنْصَارِيَةَ قَالَتْ : غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ أَخْلُفُهُمْ فِي رِحَالِهِمْ فَأَصْنَعُ لَهُمُ الطَّعَامَ وَ أُدَاوِي الْجَرْحَى وَ أَقُومُ عَلىَ الْمَرْضَى.
Dari Ummu Athiyah Al Anshariyah ia berkata,” Saya ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali. Saya berada di kemah-kemah mereka (kaum muslimin) ; membuat makanan untuk mereka, mengobati yang terluka dan merawat yang sakit.”[15]
عَنِ ابَنِ عَبَاسٍ قَالَ : كُنْتَ سَأَلْتَنِي هَلْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَغْزُو باِلنِّسَاءِ ؟ وَقَدْ كَانَ يَغْزُو بِهِنَّ فَيُدَاوِيْنَ الْجَرْحَى وَ يُحْذَيْنَ مِنَ الْغَنِيْمَةِ وَ أَمَّا بِسَهْمٍ فَلَمْ يَضْرِبْ لَهُنَّ.
Dari Ibnu Abbas ia berkata,” Anda bertanya kepadaku apakah kaum wanita juga ikut berperang bersama Rasulullah ? Ya, beliau berperang bersama mereka ; mereka mengobati orang-orang yang terluka dan diberi sedikit bagian dari ghanimah, namun beliau tidak memberi mereka satu bagian penuh dari ghanimah.”[16]
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ اتَّخَذَتْ خَنْجَرًا يَوْمَ حُنَيْنٍ فَكَانَ مَعَهَا فَرَآهَا أَبُو طَلْحَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه و سلم هَذِهِ أُمُّ سُلَيْمٍ مَعَهَا خَنْجَرٌ! فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَا هَذَا الْخَنْجَرُ ؟  قَالَتْ : اتَّخَذَتْهُ إِنْ دَنَا مِنِّي أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ بَقَرْتُ بِهِ بَطْنَهُ فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَضْحَكُ. 
Dari Anas bahwasanya Ummu Sulaim (ibunya) membawa sebilah khanjar ---pedang pendek---pada perang Hunain. Kebetulan Abu Thalhah (suaminya) melihatnya, maka ia melapor kepada Rasulullah,” Ya Rasulullah, Ummu Sulaim membawa khanjar !” Maka Rasulullah bertanya,” Untuk apa khanjar ini ?” Ummu Sulaim menjawab,” Jika ada orang musyrik yang mendekat, aku akan membelah perutnya dengan khanjar ini ! Rasulullah pun tersenyum.”[17]
Imam Ar-Rofi’I berkata,” Imam boleh mengizinkan perempuan dan anak-anak yang mendekati dewasa untuk menyertai peperangan ; untuk mengambilkan air minum dan mengobati orang yang terluka.  Imam tidak boleh mengijinkan orang gila bagaimanapun keadaannya untuk ikut berperang. Dan jihad tidak wajib bagi orang banci yang musykil karena ia masih mengandung kemungkinan perempuan.” [18]
Mayoritas ulama menyatakan kaum wanita juga wajib berangkat berperang ketika terjadi mobilisasi umum --–seperti saat negara Islam diserang musuh---, berdasar keumuman ayat:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَالِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
” Berangkatlah kalian untuk berperang baik dalam kondisi ringan maupun berat.” [QS. At Taubah ; 41].
Imam Al Kasani berkata, ”Jika mobilisasi umum karena musuh menyerang suatu negeri maka  jihad menjadi fardhu ‘ain, wajib atas setiap individu muslim yang mampu berdasar firman Allah Ta’ala QS. At Taubah : 41, maka seorang budak keluar tanpa harus izin pada tuannya, wanita keluar tanpa harus izin suaminya.... demikian juga dibolehkan anak keluar tanpa izin kedua orang tuanya.[19] 
Sebagian ulama kontemporer seperti syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, Dr. Abdullah bin Ahmad Al Qadiri dan Dr. Muhammad Khair Haikal berpendapat bahwa kaum wanita tetap tidak wajib berangkat berperang meskipun pada saat jihad telah menjadi fardhu ‘ain, seperti saat mobilisasi umum dan saat musuh mentyerang sebuah wilayah Islam. Menurut keduanya. diketahui dari sirah nabawiyah dan perjalanan umat Islam selanjutnya diketahui keikut sertaan mereka dalam mobilisasi umum dan perang defensive menunjukkan berjihad bagi kaum wanita hukumnya boleh / sunah, bukan wajib. [20]
As Sunah memang menunjukkan bahwa kaum wanita tidak harus berangkat berjihad sekalipun dalam kondisi jihad fardhu ‘ain, seperti datangnya serangan musuh dalam perang Uhud dan Khandaq. Bahkan dalam as sunah ditegaskan dalam kondisi mobilisasi umumpun mereka, seperti perang Tabuk, kaum wanita juga tidak harus keluar berjihad.

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَاصٍ قَالَ (خَلَّفَ رَسُولُ اللهِ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فِي غَزْوَةِ تَبُوكٍ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ, تُخَلِّفُنِي فِي النِّسَاءِ وَ الصِّبْيَانِ. فَقاَلَ : أَمَّا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى, غَيْرَ أَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي)

Dari Sa’ad bin Abi Waqash ia berkata,” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan Ali dalam perang Tabuk (menugaskannya berjaga di Madinah-ed). Maka ia mengadu,” Ya Rasulullah, engkau meninggalkanku bersama wanita dan anak-anak ?” Beliau bersabda,” Apakah kau tidak rela kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun bagi Musa ? (bedanya) hanya tidak ada Nabi sesudahku.”[21]
Meski demikian,  para ulama tetap menyatakan boleh saja seorang wanita mengangkat senjata dan terlibat dalam peperangan. Imam Ibnu Bathal mengatakan tentang hadits Aisyah yang menyatakan jihad kaum wanita adalah haji,” Hadits Aisyah ini menunjukkan bahwa jihad tidak wajib atas perempuan, namun bukan berarti sabda beliau “jihad kalian adalah haji” mereka tidak boleh berthathawu’ (melakukan amalan sunah) jihad.”[22]
Sunah dan sirah nabawiyah menunjukkan peran serta beberapa wanita  dalam beberapa peperangan, seperti  Ummu Amaroh yang  bertempur pada perang Uhud, Ummu Suliam yang memegang Khanjar dalam  perang hunain, Nasibah bintu Ka’ab yang kehilangan tangannya dalam perang Yamamah, para wanita yang bertempur dalam perang Yarmuk karena serangan tentara romawi mencapai barisan belakang tentara Islam, dan kisah-kisah lain di masa shahabat yang disebutkan oleh buku-buku sejarah. Dalam hal ini, Dr. Muhammad Khair Haekal berpandangan bahwa kalaulah kaum wanita mendapat tempat dalam tentara Islam, maka sebaiknya mereka ditempatkan dalam barisan tentara cadangan.[23]
5-       Merdeka
Seorang budak tidak wajib berjihad karena harta dan jiwanya menjadi milik tuannya, sedangkan jihad memerlukan pengorbanan nyawa dan harta, sebagaimana  firman Allah ta’ala :
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ
“ Dan berjihadlah dengan harta dan nyawa kalian.” [QS. At Taubah :41].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم ( لِلْعَبْدِ الْمَمْلُوْكِ الصَّالِحِ أَجْرَانِ). وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ الْحَجُّ وَ بِرُّ أُمِّي لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوْتَ وَ أَنَا مَمْلُوكٌ.
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Bagi budak yang sholih ada dua pahala.” Abu Hurairah berkata,” Demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, kalaulah bukan karena jihad fi sabilillah, haji dan taat kepada ibu tentulah aku senang mati dalam keadaan sebagai budak.”[24]
Ibnu Hajar berkata :
وإنما استثنى أبو هريرة هذه الأشياء لأن الجهاد والحج يشترط فيهما إذن السيد وكذلك بر الأم فقد يحتاج فيه إلى إذن السيد "
” Abu Hurairah mengecualikan hal-hal ini saja karena  jihad dan haji itu disyaratkan adanya izin tuan. Begitu juga dengan berbakti pada Ibu terkadang perlu ijin kepada tuan.”[25]
Meskipun demikian, seorang budak boleh juga terlibat dalam perang jika mendapat izin tuannya. Dalam As Sunah disebutkan :
عَنْ عُمَيْرٍمَوْلىَ أَبِي اللَّحْمِ قَالَ ( غَزَوْتُ مَعَ مَوْلاَيَ يَوْمَ خَيْبَرَ وَ أَناَ مَمْلُوكٌ فَلَمْ يُقَسِّمْ لِي مِنَ الْغَنِيمَةِ وَ أُعْطِيْتُ مِنْ حُرْثِي الْمَتَاعِ سَيْفًا وَ كُنْتُ أَجُرُّهُ إِذَا تَقَلَّدْتُهُ.
Umair budaknya Abu Lahm berkata,” Saya ikut perang Khaibar bersama para tuanku, padahal saat itu aku masih budak. Beliau tidak memberiku bagian dari ghanimah, namun memberiku bagian sebilah pedang. Aku menyeretnya dan diikat di tanganku (karena masih kecil—ed).” Dalam riwayat lain,” Saya ikut perang Khaibar bersama para tuanku (bani Lahm) maka mereka mengadukan perihal saya kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam. Beliau memerintahkan saya (ikut perang), maka sebuah pedang diikat dengan tanganku dan aku menyeretnya (karena masih kecil-pent). Kemudian beliau diberitahu bahwa saya seorang budak, maka beliau memerintahkan saya menjaga perbekalan.”[26]
6-     Sehat fisik (tidak cacat ) dan mampu melawan musuh
Allah Ta’ala berfirman :
لاَ يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“ Tidaklah sama antara mu’min yang tidak turut berperang yang tidak mempunyai udzur dengan mu’min yang turut berjihad di jalan Allah dengan harta dan nyawa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad di jalan-Nya atas orang yang duduk-duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk-duduk dengan pahala yang besar.” [QS. An-Nisa’:95].

لَيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
 “ Tiada dosa atas orang yang buta, orang yang pincang dan sakit apabila mereka tidak ikut berjihad.” [QS. Al Fath: 17].
Imam Ibnu Qudamah berkata,” Tidak cacat artinya tidak buta, tidak pincang dan tidak sakit. Tidak cacat ini merupakan syarat (wajibnya jihad—ed) berdasarkan firman Alloh:
لَيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
“ Tiada dosa atas orang yang buta, orang yang pincang dan sakit apabila mereka tidak ikut berjihad…...” [QS. Al Fath : 17].
Karena udzur-udzur ini menghalangi jihad. Adapun buta dan pincang, yang menjadi penghalang adalah jika hal itu parah yang menyebabkan tidak bisa berjalan dan menaiki kendaraan,  seperti buntung selamanya dan yang lainnya. Adapun jika cacatnya ringan masih memungkinkan untuk menaiki kendaraan dan berjalan, yang menjadi alasan adalah beratnya musuh maka keadaan seperti ini tidak menggugurkan kewajiban jihad karena ia masih memungkinkan untuk berjihad, seperti halnya dengan orang yang buta sebelah.  Begitu pula sakit yang menggugurkan kewajiban jihad adalah sakit yang parah, adapun penyakit yang ringan tidaklah menggugurkan kewajiban jihad, seperti sakit gigi dan pusing-pusing sedikit, hal ini tidak menggugurkan kewajiban jihad, karena hal itu tidak memberatkan jika berjihad sebagaimana halnya orang yang buta sebelah.” [27]
Imam ‘Alaud Din Al-Kasani berkata,” Pasal. Orang-orang yang terkena kewajiban jihad. Sesungguhnya jihad tidak diwajibkan kecuali kepada orang yang mampu melaksanakannya, barang siapa tidak mempunyai kemampuan maka ia tidak wajib untuk melaksanakan jihad, karena jihad adalah mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan dalam berperang, atau bekerja keras (bersungguh-sungguh) dalam berperang. Bagaimana orang yang tidak mempunyai kekuatan bisa mengerahkan kekuatan dan berbuat ?. Oleh karena itu jihad tidak diwajibkan kepada orang buta, orang pincang, orang tua, orang sakit dan orang lemah yang tidak mempunyai harta. Alloh berfirman:
لَيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
 “ Tiada dosa atas orang yang buta, orang yang pincang dan sakit apabila mereka tidak ikut berjihad…...” [QS. Al Fath: 17].
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَآءِ وَلاَعَلَى الْمَرْضَى وَلاَعَلَى الَّذِينَ لاَيَجِدُونَ مَايُنفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا للهِ وَرَسُولِهِ
“ Tiada dosa lantaran tidak ikut berjihad bagi orang yang sakit atas orang-orang yang tidak mendapatkan biaya apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. At Taubah :91).
Dalam ayat ini Alloh telah mengizinkan mereka yang tersebut dalam ayat ini untuk tidak ikut berjihad dan Alloh tidak menyalahkan mereka. Jihad juga tidak diwajibkan kepada anak-anak dan perempuan, karena umumnya fisik mereka tidak mampu memikul beban jihad. Atas dasar ini, apabila pasukan perang (Islam) diserang oleh sekelompok orang-orang musyrik ; mereka tidak mampu melawan musuh dan khawatir akan terbunuh, maka mereka boleh lari bergabung dengan kaum muslimin yang berada di daerah lain atau bergabung dengan pasukan kaum muslimin yang lain.”[28]
7-   Mempunyai biaya
Alloh Ta’ala berfirman:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَالِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“ Berangkatlah berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat dan berjihadlah dengan harta dan nyawa kalian.” [QS. At Taubah :41].
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَآءِ وَلاَعَلَى الْمَرْضَى وَلاَعَلَى الَّذِينَ لاَيَجِدُونَ مَا يُنفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا للهِ وَرَسُولِهِ مَاعَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ. وَلاَعَلَى الَّذِينَ إِذَا مَآأَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لآَأَجِدُ مَآأَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوا وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلاَّيَجِدُوا مَايُنفِقُونَ.
“ Tiada dosa lantaran tidak ikut berjihad bagi orang yang sakit atas orang-orang yang tidak mendapatkan biaya apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang baik. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (91) Dan tiada dosa pula atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan lalu kamu berkata,” Aku tidak memperoleh kendaraan untuk mengangkutmu.”Lalu mereka kembali sedang air mata mereka bercucuran karena sedih lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” [QS. At-Taubah :91-92].
Imam Ibnu Qudamah berkata,” Karena jihad tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengan menggunakan alat, maka hal itu dianggap sebagai kemampuan (syarat mempunyai biaya—ed). Jika jihad tidak menempuh jarak sejauh perjalanan sholat diqoshor, maka disyaratkan untuk memiliki (a)perbekalan, (b) nafkah untuk keluarga selama ditinggal, dan (c) senjata untuk berperang, sedang kendaraan tidak menjadi perhitungan lagi (tidak disyaratkan). Dan jika jihad menempuh jarak qoshor sholat, maka kendaraan menjadi perhitungan. [Beliau lalu berhujjah dengan dua ayat di atas.]”[29] 
 Syaikh Umar bin Mahmud Abu Umar berkata,” Benarlah kalau dikatakan jihad itu sangat tergantung pada kemampuan dan kekuatan sebagaimana hukum-hukum syar’i yang lain, bahkan Allah Pembuat syari’at telah memerintahkan untuk membangun kekuatan dan kemampuan yang keduanya termasuk i’dad.”[30]



[1] - At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041, Ahmad 6/100,144. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 1673.
[2] - Ahmad, Al Hakim, Abu Daud. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 3512, dan dalam Irwaul Ghalil Takhriju Manari Sabil no. 297, 984, dan 2043 dari Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban dan Daruquthni.
3- Al-Bukhori, kitabu Syahadah no. 2664, Kitabul  Maghozi no. 4097,  Muslim kitabul Imaroh  bab Bayanu Sinnil bulugh no. 4837, Abu daud Kitabul Hudud no. 4406, Ibnu Majah Kitabul Hudud no. 2543, Ahmad 2/17, Tirmidzi no. 1711.
[4] - HR. Baihaqi 9/22. Ibnu Asakir dalam Kanzul Ummal 10/438 no. 30063, dari Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 21/20 dan Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah 2/1027.
[5] -  Ibnu Asakir dalam Kanzul Ummal 10/411 no. 29990, dari Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah 2/1027.
[6] - Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam
[7] - Catatan kaki dalam Al Aziz Syarhul Wajiz (Asy-Syarhul Kabir) 11/355, tahqiq ; Syaikh Ali Muhammad Mu’awidh dan Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud, Daarul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, cet 1 ; 1417 H / 1997 M.
[8] - HR. Ibnu Abi Syaibah  14/401 no. 18629, Kanzul Ummal 10/438 no. 30062, dari Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah 2/1026-1027.
[9] - HR. Bukhari no. 3982.
[10] - HR. Bukhari no. 2893.
[11] - Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah 2/1029-1032, 1035.
[12] - HR. Ibnu Majah Kitabul Manasik no. 2901 , Ahmad 6/165, Daruquthni no 282. dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil no. 981 dan 1185 serta Shahih Sunan Ibni Majah no. 2362.
[13] - HR. Bukhari kitabul Jihad no. 2784. juga kitabul Hajji no. 1250, juga 2875,2876.
[14] - HR. Bukhari no. 1861, ahmad 6/79, Baihaqi 4/326.
[15] - HR. Muslim kitabul Jihad no. 4690, Ibnu majah kitabul Jihad no. 2856, dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 2323.
[16] - HR. Muslim Kitabul Jihad no. 4684, Abu daud kitabul Jihad no. 2727, Ahmad 1/248, Baihaqi 6/332, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil no. 1236.
[17] - HR. Muslim Kitabul Jihad no. 4680, Abu Daud Kitabul Jihad no. 2531.
12-  Al Aziz Syarhul Wajiz (Asy-Syarhul Kabir) 11/356
14- Lihat; Al-Jihadu fii Sabiilillah Haqiatuhu wa Ghoyatuhu 1/ 87-88 dan Al Jihaadu Wal Qitaalu Fi Syari-ah Islamiyah 2/1017..
13-  Dinukil dari Jama’ah Jihad 55-56 dan Al-Jihadu fii Sabiilillah Haqiatuhu wa Ghoyatuhu , hal. 88
[21] - HR. Bukhari kitabul Jihad No. 4416, Muslim Kitabu fadhaili  Shahabah no. 6218, Ahmad 1/170, Irwaul Ghalil no. 1188.
[22] - Fathul Baari 6/76, hadits no. 2875.
[23] - Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah 2/1023-1024.
[24] - HR. Bukhari Kitabul ‘Itqi no. 2548, Muslim Kitabul Aiman no. 4320..
[25]-  Fathul Bari 5/221.
[26] - Abu Daud no. 2730, Ibnu Majah no. 2855, Ibnu Hiban 2669, Baihaqi 6/332, Ahmad 5/223, dishahihkan syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil no. 1234 dan Shahih Sunan Ibni Majah no. 2322.,
27-  Al-Mughni 13/9
16-  Bada’I Ash-Shonai’ 7/98, dari Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah 2/997.
29- Al-Mughni 13/9-10.
[30]  Al Jihad wal Ijtihadu Taamulatun Fil Manhaj, hal. 206, Umar bin Mahmud Abu Umar.

Comments

Popular posts from this blog

Dowload Buku Iqro’ 1-6 pdf

Siapa yang tidak kenal dengan buku iqro’? hampir tidak ada di Indonesia ini yang tidak mengenal buku iqro’. Buku ini sangat populer diseluruh anak Indonesia yang ingin belajar membaca al-Qur’an.

Perbedaan Adat dan Urf dalam Disiplin Ilmu Ushul Fiqh

A.    Definisi Adat dan Urf Definisi adat: العادة ما استمرّ الناس عليه على حكم المعقول وعادوا اليه مرّة بعد أخرى Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau mengulangnya.

TELAAH KITAB SUNAN IBNU MAJAH

A.       Penyusun kitab Sunan Ibnu Majah dan komentar para Ulama’ Penyusunnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah, Ar-Rabi’iy Al-Qozawainy atau masyhur dengan sebutan Ibnu Majah. Kitab beliu ini cukup bermanfaat, hanya saja kedudukannya di bawah lima kitab hadits terdahulu. Di dalam kitab ini pula terdapat hadits-hadits dho’if, dan sejumlah hadits shahih. Sebagai catatan bahwa apabila ahli hadits mengatakan, ”Hadits yang diriwayatkan atau yang dikeluarkan oleh As-Sittah” maka maksud dari ungkapan tersebut adalah hadits yang dicantumkan di dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, jami’ At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’I, dan Sunan Ibnu Majah. B.       Kritik terhadap Kitab Sunan Ibnu Majah Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Abu Syu’bah bahwa diantara ulama yang mengkritik Sunan Ibnu Majah adalah Al-Hafiz Abu faraj Ibnul Jauzi, beliau mengatakan bahwa  dalam kitab Sunan Ibnu Majah terdapat tiga puluh hadits yang tergolong hadits maudhu ’. Dianta

Khutbah Jumat | Wafatnya Ulama Adalah Kebocoran Islam

Kematian ulama hari ini sedang banyak melanda kaum muslimin di manapun. Hingga sebagian kalangan mengatakan tahun ini sebagai ammul huzni (tahun kesedihan) bagi kaum muslimin. Maka khutbah ini berbicara tentang wafatnya para ulama merupakan kesedihan yang mendalam bagi kaum muslimin. KHUTBAH PERTAMA: السلام عليكم ورحمة الله وبركاته... إِنّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ، وَ نَسْتَعِينُهُ، وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوذُ بِالِله مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، وَ سَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلّ لَهُ، وَ مَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَا الله، وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُولهُ، أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا رسول الله   قَالَ تَعَالَى: (يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُوا اتّقُوا الله حَقّ تُقَاتِهِ وَ لَا تَمُوتُنّ إِلاّ وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُون ( وَ قَلَ: يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُوا اتّقُوا الله وَ قُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يّصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَ يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ و

APAKAH MUBAH TERMASUK HUKUM TAKLIFI?

  Sebagaimana yang diketahui, hukum taklifi adalah hukum yang bersifat ‘beban’ bagi seorang mukallaf. Dikatakan ‘beban’ atau taklif karena pada hukum ini ada suatu perintah dari Allah yang membebani seorang mukallaf untuk mengerjakan sesuatu, meninggalkannya atau memilih antara meninggalkan dan mengamalkan. Nah, untuk bagian ‘beban mengerjakan’ dan ‘beban meninggalkan’ ini sudah jelas kalau memang hal tersebut merupakan ‘beban’. Namun yang menjadi pertanyaannya, ketika seorang mukallaf diminta untuk memilih mengerjakan atau meninggalkan sesuatu, di mana letak ‘beban’nya untuk kategori ‘memilih antara mengerjakan atau meninggalkan’? atau lebih spesifik lagi, di mana letak ‘beban’ atau taklif nya hukum mubah ? Jawabannya, Jumhur ulama berpendapat, mubah bukan termasuk hukum taklifi . Hal ini disebabkan karena hakikat hukum taklifi adalah pembebanan dan sisi masyaqqah (kesulitan). Artinya mubah tidak termasuk hukum taklifi karena tidak adanya ‘pembebanan’ di dalam perkara muba

Apakah Kekafiran Merupakan Takdir Yang Ditetapkan Allah?

  Kekafiran yang dilakukan oleh orang kafir adalah pilihan orang tersebut dan ketetapan Allah dalam waktu bersamaan. Hal ini bisa dijelaskan bahwa kufur dan iman itu perbuatan yang sifatnya pilihan bagi semua manusia. Selain itu juga kehendak yang telah ditetapkan oleh Allah bahwa pilihan-pilihan tersebut akan berkonsekuensi hukuman dan pahala. Tidak ada manusia yang merasa ditekan atau dipaksa untuk memilih hal tersebut.

DAMPAK MENGERIKAN MAKANAN HARAM (khutbah Ust. Abdullah Manaf Amin)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله ..... لا اله الا الله و الله أكبر... الله أكبر و لله الحمد إِنَّ اْلحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ ونستغفره  ونستهديه و نتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهدى الله فلا مضل له ومن يضلله فلا هادي له, أشهد أن لاإله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله, اللهم صلى على محمد وعلى اله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلي يوم الدين أما بعد, قال تعالى فى القران الكريم, أعوذ بالله من الشيطان الرجيم... يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ (ال عمرن: 102) يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً (النساء: 1) ياأيها الذين امنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله وؤسوله فق

KHUTBAH JUMAT (3) KEBAHAGIAAN DALAM HIDUP

KHUTBAH PERTAMA الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسوله الكريم، وعلى آله وصحبه أجمعين، اللهّم صلّ على محمّد وعلى أل محمّد كما صلّيت على إبراهيم و على أل إبراهيم إنك حميد مجيد. فيا عباد الله أوصيكم وإياي نفسي بتقوى الله، حيث قال جلّ و على في كتابه التنزيل (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ) و (   َيا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ) وقال في أية الأخرى   ( يا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ) أمّا بعد. Jamaah sholat jumat yang dirahmati Allah... Marilah kita bersyukur kepada Allah ta’ala . Karena Allah telah memberikan bany

BUKU USHUL FIKIH TINGKAT DASAR, Penulis Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, Penerbit Ummul Qura

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam dan shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ushul Fikih merupakan disiplin ilmu tentang cara atau metode mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, yaitu tentang apa yang dikehendaki oleh perintah dan apa pula yang dikehendaki oleh larangan. Ushul Fikih sangat bermanfaat bagi seorang muslim yang terus menghadapi dinamika sosial sehingga selalu muncul persoalan-persoalan baru di dalam masyarakat. Untuk memecahkan persoalan yang baru belum ada nash yang jelas, tentu diperlukan istinbath, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap berbagai permasalahan yang muncul dengan melakukan ijtihad. Buku ini ditulis oleh pakar yang kompeten dalam disiplin ilmu ini. Sesuai dengan judul aslinya, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh , buku ini juga cocok bagi kalangan pemula. Telah teruji sebagai pegangan bertahun-tahun bagi para penuntut ilmu, pelajar, mahasiswa, juga pengajar. Dr. Muhammad Al-Asyqar. Lahir p

ACUAN TARGET HAFALAN AL-QUR’AN PER BARIS, PER BULAN SAMPAI HAFIZH 30 JUZ

Apakah anda ingin menghafal al-Qu’an? Jika memang iya, ini adalah target waktu hafalan al-Qur’an yang bisa anda pilih dengan kondisi dan kemampuan anda masing-masing. Anda bisa menimbang antara target dan kemampuan. Dengan memiliki target ini anda bisa mengukur kapan anda bisa selesai menghafal al-Qur’an. Menghafal al-Qur’an adalah program seumur hidup. Jika anda tidak memiliki target, sebaik apapun kemampuan, anda tidak akan tercapai. Namun jika anda menghitungnya dengan tepat anda akan mendapatkannya. Meskipun dengan relatif waktu yang tidak cepat. Asalkan memiliki komitmen yang kuat. Berikut adalah acuan hafalan yang anda dapatkan jika anda menghafal al-Qur’an perbaris. Acuan al-Qur’an yang digunakan dalam tulisan ini adalah mushaf utsmani yang 1 halamannya berjumlah 15 baris. 1 juz berjumlah 20 halaman. Ø   Jika anda menghafal 1 baris sehari, maka anda akan hafal 1 juz dalam 10 bulan, dan hafal al-Qur’an dalam 24 tahun 4 bulan. Ø   Jika anda menghafal 2 baris sehari, and