Kehadiran wali
dalam melangsungkan akad pernikahan menjadi salah satu syarat sah sebuah
pernikahan. Kehadiran wali sebagai syarat sah adalah pendapat jumhur ulama
selain madzhab Hanafi. Menurut madzhab Hanafi Akad nikah tetap sah tanpa kehadiran wali. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Menurut pendapat Jumhur selain madzhab Hanafi, tidak sah kecuali dihadiri oleh wali dari mempelai perempuan. Hal ini sebagaimana firman Allah,
Menurut pendapat Jumhur selain madzhab Hanafi, tidak sah kecuali dihadiri oleh wali dari mempelai perempuan. Hal ini sebagaimana firman Allah,
فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ
أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ
“Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.”
(al-Baqarah: 232).
Imam Syafi’i menjelaskan,
“Ini merupakan ayat yang paling jelas menerangkan tentang pentingnya kehadiran wali.
Jika kehadiran wali tidak penting, tentu tidak dipermasalahkan tentang perihal
seorang wali yang menghalangi perkawinan putrinya. Selain itu diperkuat dengan Hadits
Rasulullah s.a.w.
لا نكاح إلا بولي
“Tidak ada
pernikahan melainkan dengan seorang wali” (HR. Ahmad) (Subulus
salam: 3/117)
Hadits tersebut
mengandung pengertian bahwa pernikahan yang tidak dihadiri wali, maka
pernikahannya tidak sah dalam pandangan syariat. Kemudian dalam hadits lain mengatakan.
أيما امرأة نكحت بغير
إدن وليها فنكاحها باطل، فنكاحها باطل، فنكاحها باطل. فإن دخل بها فلها المهر بما
استحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان
ولي من لا ولي له
“Seorang perempuan
yang dinikahi tanpa izin walinya maka pernikahan tersebut batil, batil, batil. Jika
sang suami telah bersenggama dengannya maka perempuan tersebut berhak
mendapatkan mahar karena untuk menghalalkannya. Jika terjadi perselisihan maka
pemimpinlah wali bagi orang yang tidak memiliki wali” (HR. Ahmad)
(Subulus salam: 3/127)
Hadits pertama
tidak boleh difahami bahwa pernikahan tanpa wali itu sekedar kurang sempurna. Tapi
sabda Nabi s.a.w. menjelaskan tidak ada
pernikahan yang sah, jika tidak dihadiri seorang wali. Kemudian di hadits
kedua, dijelaskan bahwa pernikahan hanya sah dengan izin wali.
Hal ini
kemudian diperkuat dengan sabda Nabi s.a.w,
لا تزوج المرأة المرأة،
ولا تزوج المرأة نفسها
“Seorang wanita
tidak dapat menikahkan perempuan, juga tidak dapat menikahkan dirinya sendiri” (HR.
Ibnu Majah) (Subulus salam: 3/129)
Hadits di atas
menunjukkan bahwasanya perempuan tidak mempunyai hak kewalian untuk menikahkan
dirinya dan wanita lain. Baik pernikahan untuk dirinya sendiri atau mewakilkan
orang lain untuk menikahkan wanita lain. Artinya pernikahan itu tidak sah. Meskipun
wanita itu telah mendapatkan izin dari wali aslinya. Selain itu perempuan juga
tidak berhak untuk mengucapkan ijab qabul.
Berbeda dengan
pendapat madzhab Hanafi, sebagaimana riwayat yang jelas dari Imam Abu Hanifah
dan Abu Yusuf, mereka memiliki pendapat bahwa wanita yang berakal dan sudah
baligh boleh menikahkan dirinya sendiri dan putrinya yang masih kecil. Juga boleh
menerima hak wakil dari orang lain. Akan tetapi sendainya dia menikahkan
dirinya dengan orang yang tidak sekufu dengannya, maka wali aslinya boleh menolaknya.
(Fathul Qadir 2/391, al-Badaai’: 2/237-247)
Dalil yang
mereka gunakan adalah sebagaiman firman Allah tentang adanya penyandaran nikah
kepada perempuan dalam tiga ayat,
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا
تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥ
“Kemudian
jika si suami menalknya (sesudah talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (al-Baqarah:
230)
Kemudian firman
Allah,
وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ
“Apabila kamu menalak
istri-istri-mu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya.” (al-Baqoroh: 232)
Ayat ini
ditujukan kepada para suami bukan para wali. Sebagaiman yang dijelaskan oleh
jumhur ulama. Selain itu juga firman Allah,
فَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡكُمۡ فِيمَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِير
“Maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut.” (al-Baqarah: 234).
Pada ayat ini
secara jelas menyatakan bahwa pernikahan seorang perempuan itu bisa dilakukan
oleh dirinya sendiri. Selain itu dalam hadits mengatakan,
الثيب أحق بنفسها من
وليها والبكر تستأمر وإذنها سكوتها
“Janda lebih berhak
atas dirinya daripada walinya. Sedangkan gadis ditawari, dan izinnya adalah
diamnya.” (HR Muslim) (Subulus Salam: 3/119)
Dalam riwayat
yang lain,
لا تنكح الأيم حتى
تيتأمر، ولا تنكح البكر حتى تستأذن قالوا: يا رسول الله، وكيف إذنها ؟ قال أن
تسكت.
“Janda tidak
dinikahkan hingga ia ditawari. Dan gadis tidak dinikahkan hingga ia dimintai
izin.” Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana ia mengizinkan?
Beliau menjawab, “Dia diam” (HR Bukhari Muslim) (Subulus Salam:
3/118)
Hadits ini
menjelaskan tentang hak nikah bagi wanita janda diserahkan kepada dirinya
sendiri, pun juga dengan wanita gadis. Akan tetapi, melihat pada umumnya para
wanita itu malu-malu. Sehingga kemudian syariat mencukupkan untuk meminta izin
kepadanya untuk menunjukkan kerelaannya. Itu bukan berarti mencabut hak
perwalian wanita untuk menjalankan akad nikah secara langsung, tetapi lebih karena
wanita itu pantas untuk mempertimbangkan hal tersebut.
Tapi kemudian
ada pendapat yang menurut penilaian penulis adalah pendapat yang moderat. Pendapat
ini adalah pendapat Abu Tsaur, bahwa pernikahan itu harus ada ridho dari wanita
yang akan menikah dan wali yang akan menikahkan. Pernikahan tidak boleh
dilangsungkan jika ada salah satu antara dua belah pihak tidak meridhoi. Maka pernikahan
yang dibenarkan adalah pernikahan yang diridhoi oleh kedua belah pihak antara
wali dan wanita yang akan menikah. (al-Muhadzdzab, vol. 2: 35).
Sumber:
al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, penulis DR. Wahbah al-Zuhaili, 82 - 84
Kampung Damai,
7 Oktober 2019
Comments