
Sebagaimana yang
diketahui, hukum taklifi adalah hukum yang bersifat ‘beban’ bagi
seorang mukallaf. Dikatakan ‘beban’ atau taklif karena pada hukum
ini ada suatu perintah dari Allah yang membebani seorang mukallaf untuk
mengerjakan sesuatu, meninggalkannya atau memilih antara meninggalkan dan
mengamalkan. Nah, untuk bagian ‘beban mengerjakan’ dan ‘beban meninggalkan’ ini
sudah jelas kalau memang hal tersebut merupakan ‘beban’. Namun yang menjadi
pertanyaannya, ketika seorang mukallaf diminta untuk memilih mengerjakan
atau meninggalkan sesuatu, di mana letak ‘beban’nya untuk kategori ‘memilih
antara mengerjakan atau meninggalkan’? atau lebih spesifik lagi, di mana letak
‘beban’ atau taklifnya hukum mubah?
Jawabannya, Jumhur ulama berpendapat, mubah bukan
termasuk hukum taklifi. Hal ini disebabkan karena hakikat hukum
taklifi adalah pembebanan dan sisi masyaqqah (kesulitan). Artinya mubah
tidak termasuk hukum taklifi karena tidak adanya ‘pembebanan’ di dalam perkara
mubah.
Namun pendapat lain dari Abu Ishaq
al-Isfarayaini yang berargumen bahwa mubah masuk dalam kategori hukum
taklifi karena keharusan beri’tiqad (keyakinan) tentang kemubahannya.
Dengan adanya keharusan beri’tiqad ini artinya merukapakan sebuah
taklif.
Al-Amidi di dalam al-Ihkam [1/65] kemudian
mendamaikan dua pendapat ini dengan pendapatnya, bahwa hakikat perbedaan dalam
hal ini hanya ada dalam segi lafal saja. karena tidak ada jalan temu dari kedua
perspektif di atas. Jumhur menilainya dari segi asal perbuatannya. Sedangkan
al-Isfarayaini menilainya dari segi i’tiqad. Dua perspektif yang pasti
akan menghasilkan dua kesimpulan yang berbeda.
Di dalam kitab al-Taqrir
wa al-Tahbir [2/72] dan juga dalam kitab raudhah al-Nadhir [1/121] para
ulama memasukkan mubah ke dalam hukum taklifi dari segi ‘taghlib’.
Taghlib di sini merupakan pembahasan secara bahasa saja. Taghlib
adalah mengunggulkan salah satu dari dua kata yang berbeda namun memiliki
hubungan yang erat secara makna, kemudian menjadikannya dalam satu kalimat yang
sama. Artinya para ulama memasukkan hukum mubah ini ke dalam hukum
taklifi bukan secara hakikat. Karena hakikat hukum taklifi adalah
hukum yang di dalamnya mengandung beban (كلفة) dan kesulitan (مشقة). Sedangkan di dalam hukum mubah
tidak ada beban sama sekali.
Sebab yang lain kenapa
mubah dimasukkan secara taghlib karena shighah (susunan kata) yang digunakan
untuk perbuatan mubah kebanyakan berupa shighah thalab (formula kalimat
menuntut). Atau alasan lain karena sisi taklifnya mubah dari segi
keyakinan bahwa suatu perbuatan ini mubah.
Contoh dari sighah
thalab yang dijadikan sebagai bentuk hukum mubah,
وكلوا
واشربوا حتي يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر
“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu
(perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar” (Qs. al-Baqarah: 187)
Untuk lebih jelasnya silahkan anda merujuk di
dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islami yang ditulis oleh DR. Wahbah
al-Zuhaili halaman 89-90.
Wallahu a’lam.
Comments