Pertumbuhan ilmu hadits
berlandaskan dari firman Allah yang mengatakan,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا
بِجَهَٰلَة فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِين
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti” (QS. al-Hujurat: 6)
Kemudian dari
hadits Rasulullah yang mengatakan,
ضَّرَ اللَّهُ امْرَأً
سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ
سَامِعٍ
“Semoga Allah
mengelokkan wajah orang yang mendengar berita dari ku, lalu menyampaikan persis
seperti apa yang pernah dia dengar. Karena tidak sedikit orang yang menerima
berita itu lebih faham daripada pembawa berita itu sendiri. (HR.
Tirmidzi: 2657, Ibnu Majah: 232, Ahmad: 4157)
Kemudian dalam
hadits lain dikatakan,
فرب حامل فقه إلى من هو
أفقه منه ، ورب حامل فقه غير فقيه
“Maka tidak sedikit orang
yang membawa berita itu lebih mengerti daripada orang yang menerima berita
tersebut, begitu juga tidak sedikit orang yang membawa berita itu tidak lebih
mengerti dari pada orang menerima berita” (HR. Tirmidzi)
Dalam ayat
dan hadits di atas menunjukkan suatu prinsip tentang ketentuan mengenai
pengambilan suatu berita atau kabar dari orang lain, sekaligus tata cara pengambilan
dan penyampaian sebuah berita. Ketentuan ini adalah perintah Allah dan
Rasul-Nya. Kemudian ketentuan ini juga diikuti oleh para salaf, terutam jika
mereka meragukan kejujuran orang yang membawa berita. Dari ketentuan ini
kemudian mucul kosnep sanad yang digunakan sebagai alat untuk menolak
dan menerima suatu khobar (berita). Ibnu Sirin seorang salaf mengatakan,
لم يكونوا يسألون عن الإسناد،
فلما وقعت الفتنة قالوا سموا لنا رجالكم
“Pada awalnya mereka tidak
pernah mempertanyakan tentang sanad. Tapi kemudian timbul fitnah yang akhirnya
mereka mempertanyakannay” (Syarh Nawawi ala al-Muslim, vol.1: 45).
Kemudian jika ternyata yang
meriwayatkan adalah orang-orang ahlus sunnah mereka menerimanya. Tapi kalau
datang dari ahlul bidah para sahabat menolaknya.
Dari peristiwa di atas kemudian
mulai tumbuh ilmu hadits yang lain. Berpijak dari peristiwa tentang sanad,
kemudian muncul sebuah ilmu yang bernama jarh wa ta’dil. Sebuah ilmu
yang membicarakan tentang rawi-rawi hadits dan membedakan antara munqati’ dan
muttasil. Kemudian para ulama mengemabangkan lagi sampai kemudian lahir
pembahasan lain seperti ilmu pencatatan hadits, tatacara menerima, tentang nasikh
dan mansukh dalam sebuah hadits. lantas berkembang terus menerus dan
dibukukan.
Hanya saja pembukuan tentang
ilmu hadits pada masa awal-awa ini masih tercampur-campur. Contohnya seperti
tulisan Imam Syafi’i tentang ushul fiqh dan ilmu hadits dalam buku beliau yang
berjudul ‘al-Risalah’. Sampai akhirnya ilmu ini terus berkembang
dan menjadi disiplin ilmu tersendiri dan terpisah dari disiplin ilmu yang lain.
Ketika telah menjadi disiplin
ilmu sendiri, hal ini terjadi pada tahun 4 hijriah para ulama akhirnya berusaha
menyusun kitab secara khusus dalam bidang ilmu hadits. Adapun ulama yang
pertama kali menyusun kitab dalam bidang ilmu hadits adalah al-Qadhi Abu
Muhammad al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad al-Ramaharmuzi (w. 360 H). Kitabnya
berjudul, al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i.
Wallahu a’lam.
Kampung Damai, 8 Oktober 2019
Comments