Ushul fiqh yang kita
pelajari hari ini tidak pernah dikenal pada awal agama Islam ini muncul. Hal
ini dikarenakan para Salaf yaitu dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan orang-orang
selain mereka yang mana hidup di zaman awal-awal Islam, tidak membutuhkan
kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Alasannya karena mereka telah memiliki keahlian
bahasa yang mumpuni dalam memahami setiap teks dari Nash al-Qur’an maupun
al-Sunnah.
Para salaf ini adalah
orang-orang yang memahami bahwa Ism Fa’il itu kedudukannya marfu’.
Begitu juga mereka adalah orang yang memahami bahwa huruf ما dalam
bahasa arab berarti menjukkan makna ‘umum’. Mereka juga tahu bahwa huruf ما memiliki
dua makna, pertama, memiliki arti ‘hakikat’ jika hal itu diletakkan pada
sesuatu yang tidak berakal dan yang kedua, menjadi bermakna ‘majaz’ jika
diletakkan pada sesuatu yang berakal. Sehingga dari pondasi pemahaman bahasa
seperti inilah kemudian kaidah-kaidah ushul fiqih sudah terbentuk di kepala
mereka.
Dengan adanya
pemahaman kaidah bahasa yang mereka miliki, maka para salaf ini juga mempunyai
pengetahuan tentang kaidah ilmu lain. Seperti misalnya mereka adalah
orang-orang yang memahami bahwa Ijma’ dan qiyas adalah hujjah.
Hanya saja mereka ini bukan orang mempelajari pembahasan al-Sunnah
dikarenakan pada zaman mereka tidak ada pemisah dengan Rasulullah. Sehingga apa
yang disabdakan oleh Rasul tentang syariat tentu mereka harus mengamalkannya
tanpa perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan mereka. Hanya saja ketika
kekuasaan Islam semakin meluas, pemahaman bahasa yang berkaitan dengan
al-Qur’an semakin melemah. Akhirnya para ulama menyusun kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan bahasa.
Ketika semakin jauh
jarak antara kehidupan Nabi dengan generasi kaum muslimin setelahnya, mulailah
sistem penyampaian Hadits Nabi menjadi melalui perantara para rawi
(periwayat hadits). Karena hal ini akhirnya ulama merumuskan tentang sistem
klasifikasi rijalul hadits. Rijalul Hadits merupakan orang-orang yang
meriwayatkan hadits dengan berbagai macam kemampuan mereka, ada yang kuat, ada
pula yang lemah atau pertengahan. Tujuan mengklasifikasikan mereka adalah
supaya bisa membedakan mana hadits yang memiliki derajat shahih (kuat)
dan yang dhaif (lemah). Hal ini kemudian termasuk pembahasan al-Sunnah
dalam ilmu ushul fiqih. Pembahasan al-Sunnah di kemudian hari menjadi
satu disiplin ilmu tersendiri yang dinamai dengan ilmu ‘Musthalah Hadits’.
Seluruh
pembahasan-pembahasan dalam Ilmu Ushul Fiqh juga memiliki latar belakang yang
sejalan dengan pembahasan al-Sunnah. Bahkan semua pembahasan seluruh
ilmu fiqih kontemporer. Semuanya berjalan secara alamiyah dan terus berkembang.
Adapun pertama kali yang
menyusun Ilmu Ushul Fiqh adalah Imam Syafi’i radhiyallahu anhu. Hal ini
dikarenakan buku beliau yang berjudul ‘al-Risalah’ merupakan buku
pertama dalam Islam yang membahas tentang Ilmu Ushul Fiqih. Dengan adanya buku
Imam Syafi’I yang berjudul ‘al-Risalah’ akhirnya ilmu Ushul Fiqih
menjadi semakin berkembang dan mulai menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Kemudian setelah Imam
Syafi’I menyusun buku tentang Ilmu Ushul Fiqih, maka kemudian seluruh madzhab
fiqih mengukuti apa yang telah dilakukan oleh Imam Syafi’i. Semua madzhab
akhirnya menuliskan Ilmu Ushul Fiqih sesuai dengan madzhab masing-masing.
Dengan adanya peristiwa penulisan ini akhirnya Ilmu Ushul Fiqih semakin
berkembang sesuai dengan zaman bahkan hingga hari ini.
METODE PENULISAN ILMU
USHUL FIQH
Penulisan Ilmu Ushul
Fiqih ini kemudian terbagi menjadi 2 metode:
1.
Metode Mutakallimun.
2.
Metode Fuqoha’.
1.
Metode Mutakallimun.
Metode ini adalah metode yang digunakan oleh jumhur
ulama Ushul Fiqih dari kalangan madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, Madzhab
Hanbali dan lain sebagainya dari para Ulama Ushul Fiqh selain Madzhab Hanafi. Perhatian
dari metode ini adalah dengan cara memandirikan segi Ilmu Ushuliyahnya saja
tanpa terpengaruh dengan Furu’ Ilmu Fiqih, selain itu juga dengan
menetapkan kaidah-kaidah Ushul Fiqih. Metode lainnya juga menguatkan suatu
kaidah ushul dengan
dalil. Ciri khas yang paling tampak dalam metode Mutakallimun adalah
perhatian mereka dengan membentuk suatu kaidah Ushul.
Metode
Mutakallimun ini disebut juga dengan metode deduktif. Sehingga hukum furu’
yang ada adalah hasil mengikuti dari hukum atau kaidah ushul yang telah
terbentuk.
2.
Metode Fuqoha’
Metode Fuqoha’
disebut juga metode Hanafiyah dalam penulisan Ilmu Ushul Fiqh.
Metode fuqaha’ adalah metode yang menyusun ushul-ushul yang
dibangun dari furu’ yang telah ada di kalangan imam mereka dan
tokoh-tokohnya. Penysunannya sesuai dengan kepentingan furu’ dan
berusaha mengembangkan ijtihad sebelumnya. Hal itu sebagaimana Abu Hanifah yang
ketika itu mendiktekan ilmu fiqh kepada muridnya hingga tuntas pembahasannya,
kemudian penganut-penganut madzhab hanafi juga melakukan hal yang sama. Mereka
ini ketika melakukan pendiktean hukum fiqh, hanya melakukannya dengan
berlandaskan kaidah ushul yang telah ada dalam paradigma berfikir mereka, tapi
landasan kaidah ushul fiqh belum pernah mereka susun dalam satu ilmu yang
mandiri. Sehingga ketika para penganut madzhab hanafi ingin menyusun ilmu ushul
fiqh, mereka menyusun dengan memperhitungkan penyusunan kaidahnya dari fiqh
yang telah tersusun sebelumnya. Artinya ilmu ushul fiqh mereka belum tertulis,
namun fiqh telah tertulis.
Melalui hukum furu’
ini kemudian para penganutnya melakukan istinbath yang mengasilkan
kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh yang diperhitungkan dari fiqh dalam
penyusunannya. Sehingga ushul fiqh yang tersusun merupakan hasil mengikuti imam
madzhab Hanafi. Metode yang seperti ini kemudian dinamakan dengan Ushul Fiqh
Metode mutakallimin. Metode ini berbeda dengan metode fuqoha’
yang dalam penysusunannya tidak melihat hukum furu’ dari para Imam-imam
mereka. Metode fuqoha’ hanya membahas kaidah ilmu ushul fiqh kemudian
membangun hukum furu’ dari kaidah tersebut.
Inilah asal muasal
peristiwa terbentuknya kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu
yang mandiri.
Adapun hari ini ketika
ingin berijtihad untuk melahirkan sebuah hukum, maka tidak bisa
disangkal akan kembali menggunakan kaidah Ilmu Ushul Fiqh yang telah disusun
oleh para Imam rahimahumullah dengan mengkompromikan dua metode ini.
KITAB-KITAB USHUL FIQH
PENTING DALAM METODE FUQOHA’
Para imam madzhab
setelah Imam Syafi’i wafat, banyak diantara mereka yang mengikuti jejak Imam
Syafi’i dalam menulis kitab Ushul Fiqh. Semua penulisan ini memiliki metode
yang berbeda-beda sesuah dengan madzhab mereka. Sehingga kemudian lahir
buku-buku ensiklopedia ushul fiqh, mukhtashor-mukhtashor, kitab syarh,
dan juga kitab tematik ushul fiqh.
Adapun kitab yang
mewakili Ilmu Ushul Fiqh metode fuqoha’ di antaranya ada 4 buku:
1.
Al-Amd, yang ditulis oleh
al-Qadhi Abdul Jabbar al-Hamdani yang wafat pada 415 H.
2.
Al-Mu’tamad fie Ushul
al-Fiqh, yang ditulis oleh Abu Husain al-Bashri yang wafat pada 436 H.
3.
Al-Burhan fie Ushul
al-Fiqh, yang ditulis oleh Imam Haromain al-Juwaini yang wafat pada 478 H.
4.
Al-Mustashfa fie Ilm
al-Ushul, yang ditulis oleh Imam Hujjatul Islam al-Ghazali yang wafat pada 505 H.
Kemudian 4 kitab ushul
fiqh ini diringkas dan ditulis ulang oleh 2 Imam besar,
1.
Imam Fakhruddinal-Razi yang wafat pada tahun 606 H, dengan judul al-Mahshul.
2.
Imam Saifuddin
al-Amidi yang wafat pada tahun 631 H, dengan judul al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam.
Keistimewaan dari
kitab al-Mahshul adalah pembagian dan urutan bab yang sitematis serta
pembahasan yang ringkas dalam masalah dalil.
Adapun keistimewaan
kitab al-Ihkam dengan banyaknya penyajian dalil, mendinginkan
pertentangan yang terjadi dari kitab-kitab tersebut, kemudian membuat bantahan
dengan argumen yang kuat serta mendetail.
Dua kitab ini kemudian
banyak diringkas ulang. Di antara ringkasan yang paling terkenal dari kitab al-Mahshul
adalah kitab al-Minhaj yang ditulis oleh al-Qadhi al-Baidhawi yang
wafat pada 685 H.
Adapun ringkasan kitab
al-Ihkam yang paling mashur adalah al-Mukhtashar al-Muntaha yang
ditulis oleh Ibnu al-Hajib wafat pada 646 H.
Adapun setelah dua Mukhtashar
ini kemudian muncul karya-karya mukhtashar yang lain yang diberikan syarh
(penjelas) dari mukhtashar tersebut. Jumlahnya bisa puluhan bahkan ratusan
judul yang terus ditekuni, dipelajari dan dikaji oleh pencari ilmu di seluruh
dunia.
KITAB-KITAB USHUL FIQH
PENTING DARI METODE MUTAKALLIMIN
Adapun kitab-kitab
penting dari aliran metode mutakallimin adalah,
1.
Ushul al-Jashos atau al-Fushul fie
al-Ushul, yang ditulis oleh Imam Abu Bakr Ahmad al-Jassash, wafat pada 370
H.
2.
Taqwimul Adillah, yang ditulis oleh
al-Dabusi wafat pada 430 H.
3. Ushul al-Bazdawi, yang ditulis oleh
al-Imam Fakhrul Islam Ali bin Muhammad al-Bazdawai wafat pada 483 H.
4.
Ushul al-Sarakhsi, yang ditulis oleh
Ahmad bin Abi Sahl al-Sarakhsi yang wafat pada 490 H.
5. Al-Manar, karya Abu BarkatAbdullah bin Ahmad atau biasa dikenal Hafidhuddin al-Nasafi. Wafat pada 710 H.
Kemudian setelah itu
banyak di antara orang-orang belakangan yang menulis dengan menggabungkan dua
metode antara metode Fuqoha’ atau jumhur dengan metode Hanafiyah
atau mutakallimin.
KITAB-KITAB YANG
MASYHUR DITULIS DENGAN PENGGABUNGAN DUA METODE
Diantara kitab-kitab
yang masyhur yang ditulis dengan menggabungkan metode Fuqoha’ dengan
metode hanafiyah adalah sebagai berikut,
1. Jam’ul Jawami’, yang ditulis oleh Tajuddinal-Subki. Beliau termasuk pembesar dalam penganut mazhab Syafi’i. kitab ini
merupakan ringkasan dari 100 kitab Ushul Fiqh 2 metode, sebagaimana yang ia
katakan dalam pendahuluan dalam kitabnya. Kitab ini kemudian banyak disyarah
oleh para ahli ushul, banyak yang mengambil manafaat dari kitab ini dan banyak
juga masih terus dipelajari hingga saat ini.
2.
Al-Tahrir, kitab ini ditulis oleh
Kamal al-Din bin Hamam. Beliau merupakan salah satu Imam Madzhab Hanafi. Kitab
ini menggabungkan antara dua metode kemudian ditulis dengan bahasa yang ringan
dan mendalam serta ringkas.
Siapapun yang
berkeinginan untuk mendapat pengetahuan yang lebih dalam Ilmu Ushul Fiqh maka
hendaknya mempelajari kitab al-Wajiz fie Ushul al-Tasyri’ dan al-Syairazi
Hayatuhu wa Ushulahu keduanya merupakan karya Syaikh Muhammad Hasan Hitou. Kemudian
untuk pendahuluan mempelajari Ilmu Ushul Fiqh hendaknya mempelajari kitab al-Mankhul
dan al-Tamhid.
*tulisan ini disarikan
dari buku Khulashoh fie Ushul Fiqh, karya Syaikh Muhammad Hasan Hitou.
Comments