
Sebelum kita
mempelajari Ushul Fiqh semakin jauh, perlu kita ketahui terlebih dahulu tentang
hakikat Ilmu Ushul Fiqh. Karena dengan kita mengetahui hakikat Ushul Fiqh yang benar, berarti
akan mengantarkan kepada pemahaman yang benar tentang ilmu ini.
ARTI USHUL
FIQH SECARA BAHASA
Untuk
mengartikan kalimat Ushul Fiqh maka perlu ditelaah dari arti
kedua kata tersebut. Kata Ushul Fiqh berasal dari bahasa Arab terdiri
dari 2 kata. Kata pertama Ushul secara bahasa artinya segala hal yang
menjadi terbangunnya sesuatu darinya. Sedangkan kalimat fiqh secara
bahasa artinya pemahaman.
Adapun secara
istilah arti ushul bisa bermacam-macam. Pertama, ia bisa berarti
dalil. Hal ini sebagaimana dalam kalimat: ‘الأصل في هذه المسألة
كذا’ arti dari kata الاصل di sini
adalah dalil. Kedua, berarti: kaidah yang berlaku. Hal ini sebagaimana
dalam sebuah kalimat: ألأصل في الميتة التحريم. Sehingga arti الأصل dari
kalimat tersebut adalah ‘kaidah yang berlaku’. Pada contoh lain misalnya
kalimat أكل الميتة و إباحتها للمضطر على حلاف الأصل.
Adapun fiqh
secara istilah adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i dari sebuah ijtihad.
Contohnya seperti pengetahuan tentang niat di dalam wudhu hukumnya wajib. Bahwa
sholat witir hukumnya sunnah. Bahwa berniat pada malam ramadhan merupakan satu
syarat sahnya puasa ramadhan. Bahwa zakat hukumnya wajib bagi harta anak kecil
dan tidak wajib pada perhiasan. Bahwa membunuh dengan sengaja wajib bagi
pelakunya untuk diqishash, dan lain sebagainya yang berupa
perkara-perkara ijtihadi yang akan menimbulkan perselisihan antara para
Ulama.
Hal ini
berbeda dengan perkara qath’i yang tidak ada ijtihad di dalamnya.
Dan termasuk sebuah ilmu yang seharusnya diketahui oleh seluruh kaum muslimin.
Bahwa puasa ramadhan hukumnya wajib, bahwa berzina hukumnya haram, bahwa
memakan riba hukumnya haram dan lain sebagainya yang termasuk perkara-perkara qath’i.
Maka pengetahuan tentang ini tidak masuk dalam fiqh jika dikaitkan dengan
definisi fiqh.
Maksud dari
pengetahuan di dalam fiqh adalah pengetahuan yang sifatnya dzan. Karena
sifat dari fiqh sendiri adalah perkara ijtihad. Ijtihad sendira adalah hasil
prasangka yang paling kuat mendekati dengan kebenaran.
Ini adalah
definisi yang diberikan oleh imam haramain. Masih banyak lagi definisi lain
yang diberikan oleh ulama lain tentang pengertian ilmu fiqh.
Objek dari
ilmu fiqh adalah perbuatan seorang mukallaf dari segi halal dan haram atau dari
segi hukum konsekuensi yang muncul dari perbuatan mukallaf.
Adapun pengambilan
hukum fiqh berasal dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan lain sebagainya
yang termasuk dalam dalil-dalil syar’i.
Faidah dari
ilmu fiqh adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua
hal tersebut akan memberikan manfaat di dunia maupun di akhirat.
ARTI USHUL FIQH SECARA ISTILAH
Banyak sekali
definisi Ilmu Ushul Fiqh setelah ia mejadi sebuah Ilmu mandiri yang berkaitan
dengan satu cabang ilmu khusus.
Akan tetapi
definisi yang paling lengkap tentang Ilmu Ushul fiqh yaitu ilmu yang
berkaitan dengan dalil-dalil
fiqh secara umum serta tata cara memanfaatkan dalil tersebut menjadi sebuah
hukum dan pembahasan tentang kriteria orang-orang yang layak menjalankan
pekerjaan pengambilan hukum.
Contoh ilmu
ushul fiqh seperti pengetahuan tentang penetapan kaidah ‘setiap perintah
berarti wajib’. kemudian kaidah ‘setiap larangan berarti haram’. Kemudian
tentang perkataan, perbuatan Nabi saw., ijma’, qiyas dan lain sebagainya adalah
yang termasuk dalil secara umum merupakan landasan dari hukum syari’at.
Ahli ushul fiqh
berbeda dengan ahli fiqh. Dikatakan ahli Ilmu ushul fiqh karakternya adalah mengetahui
tentang dalil-dalil dari segi umum (dalil ijmali). Sedangkan ahli fiqh mengetahui dalil secara
terperinci (dalil tafsili).
Contoh dari
dalil terperinci seperti pengetahuan tentang sholat hukumnya wajib yang berasal
dari dalil وأقيموا الصلاة (dan dirikanlah shalat). Kemudian tentang
zina hukumnya haram dari dalil و لا تقربوا الزنى (Janganlah kamu
mendekati perbuatan zina). contoh lain bahwa riba hukumnya haram berasal dari
dalil و أحل الله البيع و حرم الربوا (Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba).
Adapun
perbedaan antara dalil umum (إجمالي) dan dalil terperinci (تفصيلي) bahwa
dalil umum tidak hanya berlaku pada suatu hukum tertentu yang berbeda dengan
dalil terperinci. Seperti misalanya dalam firman Allah yang berbunyi و أقيموا
الصلاة (dan dirikanlah shalat), ayat ini hanya
berhubungan dengan hukum shalat dan tidak ada hubungannya dengan zakat dan
haji. Dalam firman Allah yang berbunyi وءاتوا الزكواة (dan tunaikanlah zakat)
ayat ini berhubungan
dengan zakat saja dan tidak ada hubungannya dengan shalat atau haji. Sehingga
dua ayat ini kemudian dinamakan dengan dalil terperinci. Karena hanya
menjelaskan tentang bagian tertentu dari sebuah hukum dan tidak menjelaskan
tentang hukum yang lain.
Hal ini
berbeda jika dibandingkan dengan dalil umum atau dalil ijmali. Contoh dalil ijmali
yaitu kaidah ‘sebuah perintah berarti kewajiban’. Maka kaidah ini
tidak hanya berbicara tentang satu permasalahan hukum tertentu akan tetapi berbicara tentang segala
bentuk yang bermaksud perintah. Kaidah ini mencakup ayat و أقيموا
الصلاة , و ءاتوا الزكواة, و جاهدوا في
سبيل الله, و اتقوا الله dan lain sebagainya yang berupa perintah.
Sehingga setiap ada firman dari Allah yang berupa perintah, akan masuk ke dalam
kaidah ini. Hal ini berarti semua yang berupa perintah itu artinya wajib selama tidak ada qarinah
yang mengubah hukum asalnya.
Dalil yang
umum atau dalil ijmali
tidak ada sangkut pautnya dengan hal yang spesifik. Berbeda halnya
dengan dalil tafsili atau dalil terperinci yang berisikan tentang permasalahan yang spesifik,
selalu berkaitan dengan satu hukum, serta tidak akan bisa berlaku untuk hukum lain.
Adapun tata
cara berdalil dengan dalil yang umum adalah tata cara mengambil kesimpulan (beristimbath)
dari hukum syar’i dari sebuah dalil yang bentuk dalinya saling bertentangan.
Seperti misalnya ketika ada dalil yang umum dan dalil yang khusus dalam topik
yang sama. Maka dengan menggunakan ilmu ushul fiqh, dalil yang khusus lebih
dikedepankan daripada dalil yang umum. Alasannya dalam ilmu ushul fiqh dalil
khusus sifatnya qath’i sedangkan dalil umum sifatnya dhanni.
Sehingga yang qath’i lebih didahulukan daripada yang dhanni.
Contoh lain
yang berkaitan dengan dalil yang saling bertentangan dari segi nash dan dhahir.
Maka dalil yang sifatnya nash didahulukan daripada dalil yang dhahir
dengan alasan yang sama.
Dalam kondisi
dalil yang sifatnya mutawatir dan ahad yang bertentangan tentu
lebih didahulukan dalil yang mutawatir. Alasannya dalil mutawatir
sifatnya qath’i sedangkan dalil ahad sifatnya dhanni.
Pembahasan ini akan dikaji lebih mendalam dalam pembahasan ta’adul wa
tarjih.
Adapun yang
dimaksud dengan ‘kriteria layak mengambil kesimpulan hukum’ adalah
pengetahuan yang berkaitan dengan kondisisi dan sifat yang harus dipenuhi oleh
seorang mujtahid untuk menalar dalil-dalil hukum serta mentarjih
antar dalil-dalil tersebut.
Dengan pembahasan
tentang kriteria mujtahid maka otomatis di dalam Ushul Fiqh juga
membahas tentang orang yang tidak sampai kepada kriteria layak untuk mengambil
kesimpulan hukum atau disebut juga dengan istilah muqallid. Sebab dengan
membahasa mujtahid maka mengharuskan juga membahas tentang muqallid.
Kesimpulannya Ushul Fiqh memiliki cakupan tiga
poin bahasan. Pertama, dalil-dalil fiqh yang masih global. Kedua,
tata cara penalaran hukum dari sebuah dalil. Ketiga, kriteria dan sifat
kelayakan seseorang untuk menalar hukum.
OBJEK ILMU USHUL
FIQH
Adapun objek dari
ilmu ushul fiqh adalah dalil-dalil yang terlihat bertemu namun bertentangan
yang kemudian dirinci dengan beberapa kategori menjadi umum dan khusus,
perintah dan larangan dan lain sebagainya.
Adapun tujuannya
adalah pencapaian pada kesimpulan hukum-hukum syar’i dengan perantara
dalil-dalil yang terperinci. Artinya ada keharusan untuk memahami ushul fiqh dalam
melakukan aktifitas mengambil kesimpulan hukum syar’i dari dalil yang terperinci.
Karenan dalil yang terperinci saja tidak bisa mencukupi.
Hal ini
sebagaimana firman Allah: وأقيموا الصلاة Kita ketahui bahwa lafal ayat tersebut memerintahkan untuk menjalaninya.
Akan tetapi kita tidak tahu apakah perintah tersebut merupakan perintah yang
sifatnya wajib, nadb atau pilihan. Hal ini karena perintah
dalam lafal ini memiliki banyak makna sebagaimana pada lafal yang lain.
Akan tetapi jika
dalam pengetahuan ushul fiqh setiap perintah hukumnya wajib secara mutlaq.
Kecuali jika ada qarinah yang menggubanya. Kita memahami lafal أقيموا الصلاة menunjukkan
bahawa shalat hukumnya wajib dengan menggunakan qiyas mantiqi.
Maka kita katan
lafal أقيموا merupakan sebuah perintah yang termasuk kategori dalil yang
terperinci. Sedangkan kaidahnya ‘sebuah perintah merupakan tanda kewajiban hukum’,
yang mana kaidah ini adalah dalil yang umum atau dalil ijmali. Maka
hasilnya adalah bahwa shalat hukumnya wajib.
Hal ini sama juga
dengan firman Allah لا تأكلوا الربا kalimat لا تأكل merupakan kalimat berbentuk larangan yang artinya itu adalah
pengharaman. Maka memakan harta riba hukumnya haram.
Dengan begini
maka menjadi jelaslah bagi kita, kalau seandainya tidak ada ilmu ushul fiqh
tentu kita tidak bisa melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari
dalil-dalil yang terperinci.
Bagi orang yang
tidak mengetahui tentang ilmu ushul fiqh tentu akan banyak tergelincir dalam
memahami ilmu dan berfatwa. Bahkan lebih parah lagi seseorang yang tidak
menggunakan ilmu ushul fiqh memiliki potensi besar untuk menghalalkan apa yang
telah Allah haramkan dan mengharamkan hal-hal yang dihalalkan-Nya.
Pengetahuan
seseorang tentang dalil tafsili tidak terlalu berguna dalam
memahami hukum. Begitu juga pengetahuan tentang dalil ijmali
tidak akan berguna dalam memahami hukum syar’i. Maka untuk memahaminya haruslah
mengetahui keduannya. Sehingga seseorang bisa melakukan penalaran dalil secara
benar dengan menempatkan dalil tafsili sebagai premis mikro atau premis
minor, sedangkan dalil ijmali sebaagai premis mayor atau premis makro. Sehingga
hasilnya dalam memahami hukum syar’i dapat dilakukan dengan istinbath
yang tepat.
Wallahu a’lam
(Tulisan ini
banyak diambil dari kitab al-Khulashoh fi Ushul Fiqh, karya Syaikh Hasan Hitou)
Gunung Madu, 09
Nov. 21, 15:46
Comments