PENGGUGURAN KANDUNGAN (ABORTUS)
Terdapat dua model
pengguguran kandungan. Pertama, pengguguran yang terjadi secara
alamiyah. Pengguran jenis ini terjadi dengan tidak ada unsur kesengajaan di
dalamnya. Sehingga tidak ada konsekuensi hukum di dalamnya. Kedua,
karena dilakukan dengan sengaja. Motif pengguguran tersebut bisa
bermacam-macam. Bisa karena ingin menutupi aib akibat zina. Bisa juga karena
mungkin wanita tersebut tidak menginginkan kehamilan karena urusan sibuk, karir
atau ekonomi. Atau bisa juga karena alasan darurat yang memang mengharuskan
janin untuk digugurkan secara medis.
Pengguguran kandungan
bentuk kedua ini yang diberlakukan hukum di dalamnya karena dilakukan dengan
sengaja. Model pengguguran bayi yang seperti ini yang sering ditanyakan oleh
masyarakat, sehingga memerlukan penjelasan hukum supaya tidak disalah gunakan
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
PENGERTIAN
DAN JENISNYA
Pengguguran kandungan
atau janin dalam bahasa inggris disebut dengan abortus atau abortion, secara
bahasa artinya adalah gugur kandungan atau keguguran. Secara istilah menurut World
Health Organization yaitu keadaan dimana terjadi pengakhiran atau ancaman
pengakhiran sebelum fetus hidup di luar kandungan. Fetus belum dapat hidup di
luar kandungan jika usia kandungan belum mencapai 28 minggu.
Berbagai alasan
dilakukan dalam pengguguran janin secara sengaja. Ada yang karena khawatir akan
kemiskinan, atau karena takut menggangu kecantikan fisik, atau karena urusan
karir. Alasan lain karena secara medis, janin yang lahir ditakutkan cacat
disebabkan karena tadiasi, obat-obatan, keracunan, dan sebagainya. Ada pula
yang beralasan karena anak yang dikandung adalah hasil dari hubungan di luar
nikah. Tentu saja pengguran alamiyah tidak masuk kedalam pembahasan ini karena
tidak masuk dalam kategori ranah hukum.
Menggugurkan janin
bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang melaukannya dengan cara
tradisional. Ada juga yang dilakukan dengan bantuan medis profesional, baik
dengan curattage dan dilatage (C&D), dengan alat khusus,
mulut rahim dilebarkan kemudian janin dikiret dengan alat seperti sendok kecil,
aspirasi, atau Hysterotomi. Selain itu juga bisa menggunakan obat-obatan yang
ditelan atau diletakkan di dalam vagina wanita.
Meski cara yang
digunakan untuk melakukan aborsi sekarang ini sudah sudah dengan teknologi
canggih, tapi akibat negatif yang menimpa pelakunya tetap tak bisa dihindarkan.
Seperti gangguan psikis ketika alata untuk memperlebar muulut rahim (uterus)
dimasukkan atau setelah tembusnya vagina dan dinding rahim yang terkadang
terjadi setelah cairan hidrolik yang berbbeda dimasukkan dan pendarahan (bloding)
akibat pengunaan obat dan alat yang tidak jarang berujung kepada kematian.
HUKUM
PENGGUGURAN JANIN
Para ahli fiqih
sepakat bahwa pengguguran kandungan yang telah berusia empat bulan (120 hari)
yaitu setelah ditiupkan roh, haram hukumnya. Akan tetapi mereka berbeda
pendapat tentang pengguguran sebelum masuk 4 bulan. Para ulama ahli fikih
Hanafiyah, termasuk di dalamnya Muhammad Romli dalam kitab al-Nihayah, berpendapat
pengguguran janin usia di bawah 4 bulan boleh digugurkan dengan alasan karena
belum mempunyai nyawa. Ada pula yang memandang makruh karena janin sedang dalam
proses pertumbuhan. Ataupun ahli fiqih Syafi’iyyah terjadi perbedaan pendapat
di antara mereka. Ada yang mengharamkan ada pula yang menghalalkan. Al-Ghazali
dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din dan Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Tuhfah
adalah ulama Syafi’iyyah yang mengharamkan.
Ulama
kontemporer seperti Yusuf al-Qardhawi dan Mahmud Syaltut adalah ulama yang
mengharamkan pengguran janin, baik itu
sudah sebelum usia 40 hari atau setelahnya. Karena sejak pertemuan sperma
dengan ovum, pengguguran merupakan suatu tindakan kejahatan dan haram hukumnnya
sekalipun belum diberi nyawa. Akan lebih besar lagi dosanya jika digugurkan
dalam kondisi telah bernyawa. Namun dalam kondisi yang sangat darurat pengguguran
janin boleh saja untuk dilakukan.
Terkait dengan
keadaan darurat yang menyebabkan kebolehan melakukan pengguguran janin oleh
Syaltut, yaitu jika berdasarkan hasil diagnosa medis profesional diyakini bahwa
bertahannya kandungan yang telah hidup akan mengakibatkan kematian sang ibu dan
tidak ada jalan lain kecuali tindakan tersebut, maka syariat islam menyuruh
untuk memilih melakukan yang teringan dari dari dua dharurat. Dalam hal
ini yang paling ringan adalah menggugurkan janin dan menyelamatkan nyawa ibu. Syaltut
berpendapat bahwa Ibu adalah pangkal asal anak, telah jelas hidupnya dan telah
tetap di pundak ibu hak dan kewajiban, dan ibu adalah tiang keluarga, maka tidak
masuk akal mengorbankan nyawa ibu hanya unutk menyelamatkan janin yang belum
ada hak dan kewajiban serta terang hidupnya. Memang itulah jalan keluar yang
tampak lebih bijak. Membunuh janin hukumnya haram demikian juga membunuh ibu
juga haram. Namun dalam keadaan darurat mengorbankan janin harus menjadi
pilihan karena resikonya lebih kecil daripada harus mengorbankan ibu. Hal ini
sejalan dengan kaidah fiqh,
إذا تعارضت مفسدتان
روعي أعظمها ضررا بارتكاب أخفهما
“Jika ada dua mafasadat
yang berbenturan, maka yang diambil adalah mafsadat yang paling ringan”
Namun jika
penggugurannya dilakukan karena kekhwatiran ekonomi atau hubungan gelap dan
bukan karena alasan medis haram hukumnya. Sebagaimana firman Allah,
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ
وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءاً كَبِيرا
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami-lah yang Memberi
rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang
besar.” (Qs. al-Isra’ [17]: 31)
لاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“dan
janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan“ (Qs.
al-Baqoroh [2]: 195)
*Wallahu
a'lam
Kampung Damai,
2 November 2019
RUJUKAN
Dr. Yusuf
Qardhawi, al-Halal wa al-Haram, (Beirut: Maktabah al-Islami, cet. 15,
1994)
Syeikh Mahmud
Syaltut, al-Fatawa, (Cairo: Dar
al-Qolam)
Prof. Dr. H.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV. H. Mas Agung, cet. 2,
1991)
Dr. H. Sapiudin
Shidiq, M.ag. Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, cet. 2, 2017)
Comments