Setidaknya ada
dua alasan kenapa kita harus berislam sebagaimana Rasulullah dan para sahabat
berislam. Pertama, karena ketika di zaman Rasulullah SAW dan para sahabat islam diterangkan
langsung dari lisan Rasulullah dan langsung dipraktikkan di bawah bimbingan
wahyu. Bukan hanya kesimpulan-kesimpulan instan, tetapi juga metode
menyelesaikan/menyikapi berbagai persoalan yg kelak mereka hadapi. Kedua,
karena kita diperintahkan oleh Allah untuk tidak menyelisihi mereka: Rasul dan
para sahabat. Perintah Allah ini terdapat pada firman Allah yang berbunyi,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ
مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً -١١٥-
Artinya: “Dan
barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami Biarkan dia dalam
kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami Masukkan dia ke dalam
neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. an-Nisa’:
115)
Dalam durasi
turun wahyu yang lebih dari 22 tahun Rasulullah SAW menerima wahyu dari Allah berupa al-Quran, yang di dalamnya
menjelaskan berbagai persoalan. Beliau diperintahkan oleh Allah untuk
menyampaikannya kepada sesiapa yang mau menerimanya. Ada yang menjelaskan
tentang Allah, tentang malaikat, tentang jin, tentang kehidupan umat
terdahulu—baik yang beriman maupun yang kafir, tentang hari Kiamat, tentang
Jannah (surga), tentang Naar (neraka), dan lain sebagainya. Ada pula yang
berupa perintah dan larangan. Menjelaskan berbagai kabar dan memberikan
contoh praktik pelaksanakan perintah-Nya yang termuat di dalam al-Quran adalah
salah satu tugas Rasulullah. Oleh karena itulah, semua kabar tambahan dari
beliau, perintah, dan larangan—yang secara periwayatan disepakati shahih—diakui
oleh oleh seluruh ulama Islam. Mereka menyimpulkannya dari banyak dalil. Di antaranya:
إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ
Artinya: “Tugasmu
tak lain adalah menyampaikan.” (QS. Asy-Syura: 48)
وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
وَاحْذَرُواْ فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُواْ أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاَغُ
الْمُبِينُ
Artinya:“Taatlah
kalian kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan waspadalah! Maka jika kalian
berpaling, ketahuilah bahwa tugas Rasul Kami hanyalah menyampaikan dengan jelas.”
(QS. Al-Maidah: 92)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
Artinya:“Apapun
yang dibawa/diputuskan oleh Rasul maka ambillah! Dan apa-apa yang kalian
dilarangnya maka tinggalkanlah!” (QS. Al-Hasyr: 7)
Tidak hanya
penjelasan dan praktik pelaksanaan, Rasulullah pun telah mengajarkan kepada
para sahabat cara menghadapi berbagai persoalan yang akan muncul sepeninggal
beliau. Sebagian cara itu secara eksplisit maupun implisit telah dijelaskan
oleh Allah dalam al-Quran. Interaksi Rasulullah terhadap al-Quran diperhatikan
oleh para sahabat, dan mereka pun mencontoh beliau.
JALAN PARA
SAHABAT
tentu berislam
sebagaimana Islamnya para sahabat memiliki alasan. Dengan berislam mengikuti cara
para sahabat dalam memandang, menyimpulkan, dan menghadapi berbagai persoalan
sepeninggal Rasulullah ini termasuk dalam ruang lingkup “sabil” yang
berarti jalan; yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ
مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya, “Barangsiapa
yang menyelisihi Rasul setelah petunjuk itu jelas baginya dan dia mengikuti
selain jalan orang-orang yang beriman, akan Kami leluasakan ia dalam kesesatan
dan kami masukkan ia ke dalam Jahanam. Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali.” (QS. An-Nisa`: 115)
Dari ayat di
atas melarang untuk menyelisihi para sahabat. Jadi, yang haram bukan hanya
menyelisihi Rasulullah. Meninggalkan jalan orang-orang yang beriman pun haram.
Ancamannya, dileluasakan dalam kesesatan dan dimasukkan dalam Jahannam! Dalam kontek
ayat ini yang dimaksud dengan jalan orang beriman adalah termasuk jalan
islamnhya para sahabat.
Mungkin akan
muncul pertanyaaan, “Bukankah dalam ayat disebut, yang haram adalah
mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman. Kenapa ditafsirkan dengan para
sahabat?”
Jawabannya iya.
Karena tidak bisa dipungkiri jika para sahabat adalah orang-orang yang
pertama-tama beriman. Maka para tabi’in shalih yang datang sesudah mereka dan
memahami ayat ini, tidak akan meninggalkan cara para sahabat dalam berislam.
Dan begitu selanjutnya untuk generasi-generasi shalih berikutnya: tidak ada
yang berani menyelisihi jalan orang-orang yang beriman sebelumnya.
TAK CUKUP
HANYA KLAIM
Perlu diperhatikan,
mengikuti cara berislam itu bukan hanya dengan sekedar klaim. Hari ini kita
dapat saksikan banyaknya tokoh yang mengklaim diri sebagai orang yang paling
mengikuti cara berislamnya Rasulullah dan para sahabat. Masalahnya, komitmen
kepada cara Rasulullah dan para sahabat dalam berislam ini tidak cukup
dibuktikan dengan klaim atau pengakuan.
Jadi siapapun
yang menempuh jalannya berislam Rasulullah dan para sahabat itulah yang benar. Semua
orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti cara berislam Rasulullah
dan para sahabat ini. Sebab ini bukan milik golongan atau kelompok pengajian
tertentu. Siapa yang mau mengkajinya dengan sungguh-sungguh, semua tersimpan
rapi dalam kitab-kitab yang memenuhi perpustakaan di berbagai belahan bumi.
Dan sebagaimana
semua memiliki potensi untuk berkomitmen, semua pun berpotensi untuk
meninggalkannya. Orang yang di pagi hari benar-benar berada dalam cara berislam
yang benar ini, sore harinya bisa saja telah meninggalkannya—sengaja atau
tidak.
Wallahu a’lam
*Disarikan dari
tulisan Ust. Imtihan Asy-Syafi’i
Kampung Damai,
14 Januari 2020
Comments