![]() |
Sepandai-pandai tupai melompat, sesekali akan jatuh. Sepandai-pandainya orang, sesekali juga bisa salah.
Kesalahan itu wajar lumrah. Siapa coba orang yang tidak pernah salah? Tapi, memang berbeda, kesalahan orang awam dengan kesalahan ulama. Kesalahan ulama akan cepat viral, share demi share, forward demi forward, sangat cepat.
Adalah seorang Imam Abu Hanifah pernah melihat seorang anak kecil yang bermain-bermain tanah liat. Beliau kemudian menegur anak itu, "Nak, hati-hati! Jangan sampai terpleset ke tanah liat!"
Anak itu justru membalas, "malah seharusnya anda yang jangan sampai terpleset! Karena jika ulama terpleset, berarti adalah kehancuran bagi alam semesta"
Rupanya, perkataan anak kecil itu sangat membekas dan mengguncang jiwa Imam Abu Hanifah. Sejak saat itu, beliau sangat berhati-hati. Beliau tidak pernah berfatwa terhadap satu masalah, melainkan fatwa itu telah dikaji bersama murid-muridnya selama satu bulan penuh.
Popularitas Ulama ibarat pisau bermata dua. Ia bisa menggunakan popularitasnya untuk memberi pengaruh kebaikan di tengah masyarakat. Di sisi lain, popularitas ini membuat setiap kesalahan yang dilakukan ulama akan diikuti masyarakat luas.
Kesalahan bagi sebagian orang yang tidak memiliki popularitas adalah masalah kecil. Tapi kesalahan yang dilakukan ulama diibaratkan seperti kapal yang pecah. Ia akan menenggelamkan banyak penumpang di dalamnya. Urusannya jadi runyam kalau yang bersalah itu ulama, ia bisa diikuti oleh orang awam.
Dalam sebuah hadits dikatakan,
فإن كل ذي نعمة محسود
"Setiap orang yang dianugerahi sebuah nikmat itu menjadi sasaran iri dengki dari orang lain."
Ilmu, kebaikan, dan keberhasilan dakwah seorang ulama akan mengundang banyak hati berpenyakit dan mata hasad untuk menunggu-nunggu kesalahannya. Jika hal itu terjadi, kesalahan itu dizoom dan dibesar-besarkan hingga berkali-kali lipat oleh lawan. Mereka sangat siap untuk menginjak-injaknya dan menggoreng kesalahan itu untuk membunuh karakternya.
Makanya banyak ulama memilih bertahan dalam lorong kesendirian. menghindarkan diri dari ketenaran. Mereka juga mengingatkan murid-muridnya agar menjauhkan diri darinya.
Selain itu Umar bin Khattab juga pernah mengatakan ada 3 hal yang meruntuhkan islam.
(زلة عالم، وجدال منافق بالقرآن ,وأئمة مضلون)
"Yang meruntuhkan Islam: ketergelinciran ulama, perdebatan munafik dengan menggunakan al-Qur’an, dan Pemimpin yang sesat"
Lalu bagaimana sikap yang benar jika terjadi sesuatu kesalahan terhadap ulama.?
Kesalahan tetaplah kesalahan, sekalipun keluar dari seorang ulama paling besar sejagad.
Kita ingat kisah Umar ketika ia menjabat sebagai khalifah. Beliau menetapkan kebijakan kadar pemberian mahar bagi kaum wanita tidak boleh lebih dari 400 dirham.
Lalu seorang wanita menyanggah kebijakan Umar. “Wahai Amirul Mukminin tidakkah engkau mengetahui Firman Allah Ta’ala, ‘Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS. An-Nisaa’: 20),” ucap seorang perempuan Quraisy dengan percaya diri.
Umar kemudian menerima sanggahan yang disampaikan wanita Quraisy, dan mengatakan "Perempuan itu benar dan Umar salah. Ya Allah, ampunilah aku. Setiap orang lebih pintar dari ‘Umar," keluh sang khalifah yang mendapat gelar “Al-Faruq”
Meluruskan kesalahan adalah sebuah kewajiban. Agar menjadi tampak, antara benar dan tidak benar sehingga ada pembatasan antar keduanya. Namun demikian, kesalahan tidaklah pantas dimanfaatkan untuk menghabisi kehormatannya.
Ada dua hal yang bisa diambil dari kisah dua ulama, Umar dan Abu Hanifah. Pertama, bagi mereka untuk yang telah bersalah agar berlapang dada menerima perbaikan. Kedua, Setelah itu hendaknya bagi seorang ulama akan selalu mengedepankan kehati-hatian.
________
حاشية ابن عابدين (١/١٦٧)
جامع بيان العلم وفضله(٢/٢٢٥)
Wallahu a'lam
Comments