Meskipun
banyak dalil yang memerintahkan menyembelih udhiyyah, namun bukan berarti
udhiyyah hukumnya menjadi wajib. Ada sebagian ulama dari kalangan hanafiyyah
mewajibkannya, namun lebih banyak ulama yang mengatakan hukumnya sunnah
mua’akkadah. Itupun hanya berlaku bagi orang yang mampu dan memenuhi syarat.
Sehingga makruh untuk meninggalkan udhiyyah bagi yang mampu melakukannya.
Dalil
Dari Kalangan Yang Berpendapat Wajib
Bagi
kalangan Hanfiyyah yang mewajibkan udhiyyah, argumentasi yang digunakan berlandaskan
hadits Rasulullah saw.,
من كان له سعة ولم يضح
فلا يقربن مصلانا
“Barang siapa yang memiliki kemampuan untuk
udhiyyah tapi tidak menyembelih udhiyyah maka jangan sekali-kali mendekati
tempat shalat kami” (Hr.
Ahmad, Ibnu Majah dan al-Hakim menshahihkannya)
Ancaman
yang seperti ini tidak mungkin diucapkan Nabi saw. terhadapa orang yang
meninggalkan suatu perbuatan yang tidak wajib. Selain itu ibadah udhiyyah ini
diberikan waktu khusus untuk melakukannya yaitu di hari idul adha. Ini
mengindikasikan bahwa hari itu seseorang harus melakukan udhiyyah, dan hanya
ibadah yang memiliki status wajib yang bisa memaksa masyarakat secara umum.
Dalil
Dari Kalangan Yang Berpendapat Sunnah
Namun
jumhur ulama menetapkah hukum udhiyyah adalah sunnah bagi yang mampu. Hal ini
disandarkan kepada hadits yang berbunyi,
إذا رأيتم هللا ذي الحجة: وأراد أحدكم أن يضحي،
فليمسك عن شعره وأظفاره
“Jika kalian telah melihat hilal tanda
masuknya bulan dzulhijjah lalu salah seorang kalian ingin berudhiyyah, maka
hendaklah ia tidak memotong rambut dan kukunya (hingga datang hari berkurban). (Hr. Muslim)[1]
Jumhur ulama menyatakan bahwa pada hadits ini tindakan
udhiyyah dikaitkan dengan keinginan. Sementara itu, pengaitan sesuatu dengan
keinginan menunjukkan ketidakwajiban tindakan tersebut.
Ada lagi hadits lain yang diriwayatkan ibnu Abbas tentan
ketidak wajiban udhiyyah,
ثلاث هن علي فرائض وهن لكم تطوع الوتر والنحر وصلاة
الضحى.
“Ada tiga hal yang bagi saya (Rasulullah
saw.) hukumnya wajib namum bagi kalian (umatnya) sunnah. yaitu shalat witir,
udhiyyah dan mengerjakan shalat dhuha. (Hr. Al-Hakim, al-Daruquthni)[2]
Selain itu ada juga hadits yang diriwayatkan tirmidzi,
أمرت بالنحر وهو سنة لكم
“Saya diperintahkan untuk berkurban,
sementara bagi kalian hukumnya adalah sunnah” (Hr. Tirmidzi)
Lebih
lanjut lagi yang menunjukkan hukum udhiyyah tidak wajib adalah atsar
bahwa Abu Bakar dan Umar pernah tidak berudhiyyah. Mereka berdua tidak
melakukannya dikarenakan khawatir orang akan menganggap sebagai perbuatan
wajib; padahal hukum dasarnya tidak wajib.[3]
Sunnah
Ain dan Sunnah Kifayah
Hukum
sunnah ini kemudian dirincikan oleh madzhab Syafi’i bahwa hukum udhiyyah adalah
sunnah ain bagi setiap muslim. Maksud dari sunnah ain adalah sunnah yang
berlaku satu kali seumur hidup. Sebab sebuah perintah tidak wajib dijalankan
lebih dari sekali.[4]
Namun
bagi keluarga, udhiyyah hukumnya sunnah kifayah yang artinya disunnahkan bagi
sebuah keluarga untuk menyembelih seekor hewan udhiyyah, berupa kambing.[5]
Dalil
yang digunakan madzhab Syafi’i adalah,
كنا وقوفا مع النبي صلى الله عليه وسلم فسمعته يقول:
يا أيها الناس على كل أهل بيت في كل عام أضحية
“Ketika kami wuquf bersama Rasululullah
saw. aku mendengar beliau bersabda ‘wahai manusia, hendaklah setiap keluarga
menyembelih udhiyyah tiap tahun” (Hr. Ahmad, Ibnu Majah dan al-Tirmidzi)
Udhiyyah Bisa Berubah Menjadi Wajib
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, udhiyyah hukumnya
sunnah. Namun udhiyyah bisa berubah menjadi wajib apabila dinadzarkan. Begitu
juga jika seseorang membeli hewan udhiyyah dan diniatkan secara lisan untuk
berudhiyyah maka hukumnya juga menjadi wajib. Namun jika tidak dilafalkan
secara lisan ia tidak menjadi sebuah kewajiban. Hukum ini sama halnya berlaku
jika menggunakan bahasa isyarat yang bisa difahami dari seorang yang bisu
posisinya sama dengan perkataan dari orang yang bisa berbicara.
Ketika seseorang sudah bernadzar dia harus berudhiyyah di
tahun itu juga. Nadzar dan niat itu tidak boleh ditunaikan di tahun depan.
Kemudian jika hewan yang dikhususkan ini ternyata melahirkan
anak, maka status anaknya mengikuti induknya. Anaknya harus disembelih juga
untuk udhiyyah meski secara usia hewan belum masuk kriteria hewan udhiyyah.
Pemilik hewan juga tidak boleh meminum susu induk hewan
udhiyyah. Namun jika susunya berlimpah dan berlebih dari apa yang dibutuhkan
anak hewan tersebut, maka pemiliknya diperbolehkan untuk meminumnya. Jika
ternyat hanya cukup untuk anaknya berarti pemilik hewan tidak boleh mengambis
susunya.[6]
Wallahu a’lam.
Comments