%20Dalam%20Ilmu%20Ushul%20Fiqih%20(1).png)
Nahyi atau larangan dalam ilmu ushul fiqh artinya adalah sebuah ucapan permintaan untuk meninggalkan sesuatu. Kriteria sebuah perkataan itu menjadi kategori larangan tidak selalunya intonasi bicaranya tinggi atau orang yang mengatakannya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada lawan bicaranya. Hal ini sebagaimana penjelasan sebelumnya tentang amr (perintah).
Namun dalam kajian ushul
fiqh nahyi haruslah berbentuk sebuah titah yang menuntut secara tegas
secara verbal untuk meninggalkan satu perbuatan kepada orang yang memiliki
posisi lebih redah dari pada yang mengucapkan titah.
Bentuk lafal atau shighat
larangan pada umumnya adalah ‘jangan lakukan...’ atau dalam bahasa arab لا تفعل.
Pada dasarnya lafal nahyi
atau lafal larangan itu menunjukkan adanya hukum keharaman pada sesuatu yang
dilarang. Namun lafal nahyi juga terkadang tidak menunjukkan keharaman
perkara yang dilarang pada sebuah lafal nahyi jika lafal nahyi terbsebut
berbentuk majaz. Sehingga bisa juga menunjukkan makruh atau hukum yang lainnya.
Hal itu tergantung daripada susunan kata atau lafal yang ada, atau tergantung qarinah
yang ada pada lafal nahyi tersebut.
Kaidah lain tentang nahyi
adalah bahwa jika muncul nahyi dalam satu perkara, yang mana perkara
tersebut sebelumnya hukumnya wajib maka hal itu menuntut hukum haram para satu
perkara nahyi tersebut. Artinya tidak bisa berkonsekuensi hukum selain
dari haram, seperti makruh atau mubah misalnya.
Hal ini berbeda dengan
kaidah amr yang telah kita bahasa sebelumnya, yang mana kalau muncul
sebuah amr pada suatu perkara padahal sebelumnya hal itu diharamkan maka
amr itu menjadi sunnah.
Selain itu nahyi
juga menuntut untuk dikerjakan segera dan berulang kali. Hal ini berbeda dengan
pembahasan amr, yang mana amr tidak seluruhnya menuntut untuk dikerjakan segera
dan berulang.
Dalalah Nahyi Menunjukkan
Rusaknya Perkara yang Dilarang.
Sesuatu yang dilarang itu
bisa berada pada ranah ibadah dan bisa juga ada pada ranah muamalah. Jika
memang ranahnya adalah ibadah maka larangan tersebut menunjukkan kerusakan atas
seuatu yang dilarang tersebut.
Larangan ini berlaku
untuk ibadah yang memang dilarang pada bentuk amaliyah ibadah tersebut. Seperti
misalnya larangan sholat atau puasa bagi orang yang sedang haid. Selain itu
larangan ini juga berlaku untuk hal-hal yang memang dilarang karena ada sesuatu
yang dilarang melekat dan tidak bisa terpisahkan pada ibadah tersebut. Seperti
misalnya puasa pada saat hari raya atau shalat nafilah yang mutlaq pada waktu-waktu
yang dilarang. Maka melakukan shalat dalam kondisi-kondisi seperti di atas
setatus shalatnya adalah sholat yang rusak dan tidak diterima.
Namun jika sesuatu yang
dilarang itu berkaitan dengan muamalat maka hal itu memiliki 4 kondisi.
Kondisi pertama, kerusakan yang
ditunjukkan adalah berkaitan dengan akad itu sendiri. Seperti misalnya adalah
jual beli dengan akad bai’ hashah.
Kondisi kedua, bisa jadi larangan itu berupa
perkara yang masuk di dalam akad muamalah tersebut atau sebagian akadnya.
Seperti larangan transaksi dengan akad bai’ malaqih.
Kondisi ketiga, bisa jadi larangannya
ada pada yang di luar dari akadnya hanya saja yang berhubungan dengan yang
lazim terjadi pada akad tersebut. Seperti larangan menjual 1 dirham dengan dua
dirham.
Ketiga kondisi lararangan
di atas menunjukkan rusaknya perkara-perkara yang dilarang tersebut.
Adapun yang keempat, sebuah larangan yang berkenaan
dengan sesuatu di luar akad atau di luar muamalah dan tidak lazim berlaku pada
muamalah tersebut. Seperti misalnya adalah larangan untuk jual beli di waktu
adzan pada saat adzan jumat. Maka bentuk model larangan seperti ini sebenarnya
bukan larangan akad jual beli di waktu itu. Akan tetapi larangan ini disebakan
karena jika jual beli tetap dilakukan hal itu ditakutkan akan membuat terlewati
shalat jumat. Maka yang dilarang adalah kelalaian yang menyebabkan terlewatnya
shalat jum’at, dan terkadang lalai sholat jum’at tidak selalu disebabkan karena
perbuatan jual beli atau yang berkaiatan dengan muamalah. Bisa juga
perbuatan-berbuatan yang lain juga punya potensi melalaikan shalat jum’at.
Maka kelewatan ibadah pada
larangan tersebut dikaitkan dengan jual beli. Tapi hal itu tidak selalunya
berhubungan dengan ibadah. Terkadang shalat itu bisa terlewatkan dengan adanya
transaksi jual beli, tapi bisa juga dengan selain jual beli. Sebagian juga ada
yang melakukan jual beli dalam perjalanan menuju shalat jumat, dan shalat
jum’atnya tidak terlewatkan.
Wallahu a’lam.
Gunungmadu, 28 Oktober
2022
(Tulisan ini banyak dirujuk dari kitab al-khulashah fi ushul fiqh, Karya: Syaikh Muhammad Hasan Hitou)
Comments