Kalam ditinjau dari segi dilalah lafalnya menunjukkan arti hukum terbagi menjadi dua, yaitu mantuq dan mafhum. Dilalah artinya memahami sesuatu atas sesuatu. Dilalah dalam kajian ushul fiqh adalah memahami hukum dari sebuah dalil-dalil.
Pengertian
Mantuq dan Mafhum
Mantuq adalah
lafal yang menunjukkan arti makna sesuai dengan makna bahasanya.
Hal ini
sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث
“Jika air
sampai dengan dua kullah maka air itu tidak bisa terkontaminasi najis”
Lafal ini
menunjukkan bahwa air yang sangat banyak, minimal 2 kullah itu tidak
bisa terpengaruh kesuciannya ketika tercampur sedikit najis. Hanya saja di
dalam redaksi hadits ini tidak tertulis apa bila lebih sedikit dari 2 kullah
atau lebih dari itu. Maka hukum yang di tunjukkan dari lafal secara literal
disebut dengan mantuq.
Adapun mafhum
yaitu yang ditunjukkan dari sebuah lafal yang bukan sesuai dengan redaksi
bahasa akan tetapi dengan menggunakan akal.
Hal ini seperti
hukum air jika lebih sedikit dari 2 kullah atau lebih banyak, maka
sesungguhnya teks hadis yang lalu tidak menunjukkan tentang kedua kasus
tersebut jika ditinjau secara bahasa.
Akan tetapi kita
mengetahui ketika ditinjau dari segi akal. Kalau air yang banyak sampai dengan 2
kullah tidak bisa terkena najis maka air yang lebih banyak dari 2 kullah
lebih memungkinkan untuk tidak terkena najis. Hukum ini ditunjukkan dari teks
hadits yang difahami secara mafhum dengan perantara akal.
Begitu juga kita
mengetahui, kalau air yang lebih sedikit dari 2 kullah akan menjadi
najis ketika bercampur dengan sesuatu yang najis. Penyimpulan ini juga diambil
dengan perantara akal.
Macam-Macam
Mantuq
Terkadang makna
dalil mantuq bersifat qat’iyyat, tapi terkadang bersifat dzanniyat,
dan terkadang bersifat mujmalah.
Jika sebuah
kalam menunjukkan sebuah makna dari sebuah teks tersebut secara qath’iy,
maka disebut dengan dalalatun nash. Hal ini sebagaimana firman
Allah ta’ala:
قل هو الله أحد
“Katakanlah Dialah
Allah yang Maha Esa” (Qs. Al-Ikhlas: 1)
Maka dilalah
dari kata ahad (أحد)
adalah keesaannya dan itu merupakan dilalah yang sifatnya qath’iy. Maka
yang seperti ini disebut dengan dalalatun nash.
Jika sebuah
kalam dalalahnya bersifat dzanni, maka disebut dengan dalalatudh
dhahir. Contohnya seperti firman Allah:
أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“atau
menyentuh perempuan” (Qs. An-Nisa’: 43)
Maka dilalah
dari kata lamastum (لامستم) ini menurut para ulama ada dua makna. Imam Syafi’i dan yang
bersepakat dengannya mengartikan sengan ‘sentuhan tangan’. Sedangkan menurut
pendapat Imam Abu Hanifah dan yang sepakat dengannya, Mereka mengartikan kata
ini dengan wath’ (الوطء)
yang artinya ‘hubungan badan’.
Apabila dilalah
sebuah makna mengandung dua makna yang keduanya memiliki akurasi ketepatan yang
sama maka dilalah ini disebut dengan mujmal. Contonya seperti kalimat
al-Qur’u dalam firman Allah ta’ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.” (Qs. Al-Baqoroh:
228)
Lafal quru’ di
sini memiliki dua makna yang berbeda. Makna pertama adalah haidh sedang makna
lain adalah suci.
Ketika salah
satu makna itu bisa ditarjih maka makna yang rajih ini disebut
dengan dhahir.
Macam-Macam
Mafhum
Sebagaimana yang
telah disebutkan di atas bahwa mafhum adalah dilalah yang diambil
dari sebuah lafal yang tidak diambil dari arti lafal yang disebutkan. Contohnya:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
“maka
sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah engkau membentak keduanya,” (Qs. Al-Isra’:
23)
Lafal ayat di
atas menyebutkan larangan mengucap kata ‘ah’ dan larangan membentak
kepada kedua orang tua. Dari kedua larangan yang disebutkan itu, kita juga bisa
memahami bahwa ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam lafal
ayat di atas yaitu, haramnya memukul orang tua dan perbuatan-perbuatan lain
yang bisa menyakiti orang tua. Nah, hukum yang tidak disebutkan ini disebut dengan
mafhum.
Mafhum terbagi
menjadi dua. Mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
Jika hukum yang
tidak disebutkan sejalan dengan hukum yang dilafalkan maka disebut dengan mafhum
muwafaqah (Mafhum kesamaan).
Seperti misalnya
air jika lebih dari 2 kullah. Maka air yang lebih banyak dari 2 kullah
ini tidak kita temui dalam teks dalil. Akan tetapi akal kita menerima bahwa
hukum yang 2 kullah saja tidak terkontaminasi dengan najis, apa lagi
jika airnya lebih banyak. Pemahaman ini dibangun dengan perantara akal, yang
mana hukum itu sesuai dengan hukum yang dilafalakan dalam dalil yaitu hukum air
sebanyak 2 kullah.
Jika hukum yang
tidak disebutkan dalam lafal berupa hukum yang tidak sejalan dengan lafal yang
disebut, maka disebut dengan mafhum muhkalafah (Mafhum Kebalikan).
Seperti
contohnya, hukum air jika volumenya lebih sedikit dari 2 kullah. Maka
dihukumi dengan hukum yang tidak disebutkan secara tekstual. Maka pemahaman
hukum yang kita bangun melalui akal adalah air itu tercampur najis. Kebalikan
dari hukum bahwa air yang lebih 2 kullah itu tidak tercampur najis. Maka
jika tidak sampai 2 kullah ia akan terkontaminasi najis.
Pembahasan mafhum
mukhalafah ini ada beberapa pembagian, ada juga syarat-syarat dari mengamalkan
mafhum mukhalafah. Tapi Insya Allah akan dibahas di tulisan lain.
Demikian
pembahasan secara ringkas tentang mantuq dan mafhum di dalam ilmu Ushul Fiqh.
Wallahu a’lam.
(Tulisan ini
banyak diambil dari kitab al-Khulashoh fi Ushul Fiqh, karya Syaikh Hasan Hitou)
Gunungmadu, 9 Februari
22, 20:05 WIB
Comments