Pengertian Amr
Jumhur ushuliyyun
memberikan pengertian tentang amr yaitu ucapan permintaan untuk
melakukan tindakan, tidak harus dari pihak yang memiliki kedudukan lebih tinggi
(علو) dan tanpa harus meninggikan suara (استعلاء).
Sebagian ushuliyyun
memberikan syarat bahwa amr haruslah dari pihak yang memiliki kedudukan
yang tinggi kepada orang yang lebih rendah. Artinya orang yang memerintah harus
lebih tinggi kedudukannya dari pada yang mendapat perintah. Maka gambaran
seperti ini yang disebut dengan amr.
Abu Al-Husain Al-Bashri
memberikan syarat bahwa amr haruslah memiliki intonasi aksen yang tinggi
(استعلاء). Artinya orang yang memerintah harus memberikan perintah dengan
aksen yang tinggi meskipun kedudukannya lebih rendah daripada yang dia
perintah.
Adapun Arti dari al-uluw
(علو) dalam amr di sini merupakan ketinggian sifat orang yang
berbicara. Sedangkan arti al-isti’la’ di sini adalah sifat ucapannya.
Di antara yang
menggambarkan bahwa amr tidak membutuhkan syarat al-uluw dan juga
syarat al-istila’ sebagaimana firman Allah ta’ala yang berkaitan
dengan kisah Fir’aun ketika meminta pendapat kepada para penasihat kerajaannya.
Ayat itu berbunyi:
فماذا تأمرون
“Maka apa yang kalian
perintahkan?”
Teks ayat ini disebut
dengan amr. Pada kisah ini orang yang diminta untuk memerintah fir’aun
berada pada derajat yang lebih rendah (علو) . Selain itu tidak diragukan
lagi, pasti penasihat Fir’aun ini akan memberikan perintah kepada Fir’aun
dengan intonasi yang tidak tinggi (استعلاء), dengan penuh
hormat. Karena penasihat Fir’aun meyakini dia sebagai tuhan atau ada rasa
tunduk dan takut kepadanya. Inilah beberapa gambaran arti amr dari segi
istilah.
Contoh amr dalam ilmu
ushul fiqh seperti misalnya firman Allah ta’ala yang berbunyi:
وأقيم الصلاة
“Dan dirikanlah shalat”
Bentuk amr pada
lafal ayat ini berupa permintaan untuk melaksanakan shalat.
Sighat (Bentuk Lafal) Amr
Ada beberapa bentuk lafal
(sighat) yang menunjukkan amr. Bentuk lafal amr bisa setiap yang
memiliki wazn yang menunjukkan fi’il amr. Contohnya seperti
kalimat ‘lakukanlah’ (افعل) seperti misalnya dalam nash yaitu firman Allah ta’ala:
أقم الصلاة
“Dan dirikanlah shalat” (Qs. Thaha: 14)
Selain itu sighat amr
juga bisa berupa fi’il mudhari’ yang didahului dengan lam amr (ليفعل). Seperti
contohnya:
لينفق ذوا سعة من سعته
“Hendakalah orang yang memiliki
keluasan memberikan nafkah menurut kemampuannya” (Qs. At-Talaq: 7)
Ada juga shigat amr
yang berbentuk isim akan tetapi menunjukkan fi’il amr. Contohnya
seperti kata نزال yang memiliki arti انزل arti dalam bahasa indonesianya
‘turun’.
Tututan Hukum (Dilalah) dari Lafal Amr
Lafal amr bisa
menjunjukkan banyak tuntutan. Sebagian ulama’ ushuliyyun kemudian
mengumpulkannya sampai hampir memimiliki 30 tuntutan arti dari lafal amr.
Para ulama bersepakat bahwa lafal amr tidak semuanya mengandung makna
sebenarnya (haqiqat). Artinya lafal amr yang memiliki arti
sebenarnya hanya sebagian dan sisanya bentuk lafal amr hanyalah lafal majaz.
Jumhur ushuliyyun
berpendapat bahwa pada hakikatnya amr menuntut hukum wajib atas apa yang
diperintahkan. Akan tetapi terkadang amr diartikan secara majaz,
sehingga memiliki berbagai konsekuensi tuntutan hukum. Bisa jadi lafal amr
menuntut hukum nadb, bisa juga mubah. Bisa juga menunjukkan arti petunjuk
dan pengajaran adab.
Seperti beberapa nash
berikut:
Contohnya seperti sabda
Rasulullah saw. yang berbunyi:
أفشوا السلام بينكم
“Sebarkan salam di antar
kalian”
كلو من الطيبات
“Makanlah dari hal-hal
yang baik”
إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه
“Jika kamu saling berhutang
sampai waktu tertentu maka catatlah”
كل مما يليك
“Makanlah dari yang dekat dari
mu”
Maka jika ada bentuk
lafal amr pada nash hukum itu berarti memiliki konsekuensi
tuntutan wajib terhadap apa yang diperintahkan. Karena hakikat amr
adalah wajib. Amr akan berubah tuntutannya tidak wajib ketika ada qarinah
yang mengubah tuntutan hukum amr tersebut.
Tuntutan Amr Untuk Kesegeraan Pelaksanaan dan
Dilakukan Secara Berulang
Jumhur Ushuliyyun
berpendapat bahwa lafal amr tidak hanya berlaku untuk satu kali, tidak
juga berlaku untuk dilakukan perintahnya berulang kali. Pelaksanaan amr
hanya ditentukan tergantung dengan hakikat dari lafal amr itu sendiri.
Jika amr itu menuntut pengulangan maka itu bukan dari hakikat amr
itu sendiri akan tetapi karena adanya perintah untuk berulang. Begitu pula jika
amr itu menuntut untuk melakukannya sekali saja maka itu juga karean
lafal amr itu menyuruh melakukannya sekali.
Begitu pula lafal amr
tidak menuntut untuk segera dilakukan, tidak juga dengan jeda. Akan tetapi
karena ada hakikat lain di luar dari lafal amr sendiri. Tuntutan untuk
dilakukan segera atau dengan jeda itu semua ditentukan oleh qarinah yang
ada pada setiap lafal amr. Baik qarinah itu tampak atau
tersembunyi.
Tapi, ada sebagian jumhur
ushuliyyun memandang amr menuntut untuk segera dipenuhi
perintahnya.
Muqaddimatul
Wajib dalam Pembahasan Amr
Muqadimatul wajib berhubungan erat dengan amr
atau perintah. Karena sebuah amr pada dasarnya melahirkan hukumwajib. Muqadimah wajib adalah pembahasan yang dilahirkan dari sebuah kaidah
yang berbunyi:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Sesuatu yang wajib jika tidak
terpenuhi kecuali dengan satu hal, maka satu hal yang menyebabkan terpenuhi itu
hukumnya juga wajib”
Jika Allah memerintahkan
untuk melakukan satu perbuatan, maka secara otomatis apa saja yang menentukan
berlangsungnya kewajiban itu, hukumnya juga ikut wajib. Contohnya jika Allah
memerintahkan shalat, maka hal-hal yang menentukan keberlangsungan shalat
hukumnya menjadi wajib. Seperti berwudlu, menghadap kiblat dan lain sebagainya
yang berkaitan dengan keberlangsungan shalat.
Contoh lain, ketika
seorang wanita diperintah untuk menutuk kepalanya saat shalat, maka ia
diperintahkan untuk menutup sebagian wajahnya sehingga memastikan kewajiban
menutup kepala telah berjalan sepenuhnya.
Contoh lagi, ketika
seorang diwajibkan untuk membasuh wajah dalam wudlu, kemudian membasuh wajah
ini tidak akan terealisasi kecuali dengan membasuh sebagian dari kepala, maka
membasuh sebagian dari kepala itu menjadi wajib sehingga perintah membasuh
wajah itu berjalan dengan sempurna.
Perantara wajib inilah
yang disebut dengan muqaddimatul wajib. Maka perantara wajib termasuk
dari bagian amr. Sehingga sebagaimana melakukan amr akan mendapat
ganjaran pahala, begitu juga perantara amr juga mendapat ganjaran
pahala.
Sebagian jumhur ushuliyyun
berpendapat bahwa amr hanya berlaku untuk ada’ (Melaksanakan suatu
perbuatan sesuai dengan waktu yang
ditentukan) saja dan tidak berlaku untuk
qadha’ (Melaksanakan perbuatan di luar waktu yang ditentukan disebabkan
karena melewati waktu yang telah ditetapkan). Adapun adanya qadha’ itu
berkaitan dengan amr yang baru, bukan dengan amr untuk ada’.
Amr Setelah Larangan
Jika Allah melarang
sesuatu kemudian Allah memerintahkan untuk melakukan satu perbuatan yang
sebelumnya dilarang, maka amr pada perkara yang
sebelumnya diharamkan menunjukkan hukum mubah. Hal ini tergambar dalam firman
Allah ta’ala:
إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا
البيع
“Jika kalian telah diseru untuk shalat jum’at maka bersegeralah
untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” (Qs. Al-Jumuah: 9)
Kemudian dalam ayat yang lain Allah ta’ala berfirman:
فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغو من فضل الله
“Maka jika shalat jumat telah
usai menyebarlah di bumi dan carilah karunia Allah” (Qs. Aljumuah: 10)
Dari ayat ini maka bisa
difahami sebuah kaidah bahwa jika awalnya ada larangan pada sebuah perbuatan,
maka larangan ini akan menjadi sebuah qarinah berubahnya sebuah perintah
yang hukumnya wajib menjadi perintah yang hukumnya mubah. Dalam hal ini
kasusnya larangan jual beli pada watu adzan telah dikumandangkan, kemudian ada
perintah untuk melakukan jual beli setelah shalat maka perintah di sini
dihukumi mubah.
Hal yang sama juga
seperti perintah untuk berburu yang tertulis dalam sebuah ayat:
وإذا حللتم فاصطادوا
“Dan jika kalian telah melakukan
tahallul maka berburulah”
Perintah berburu pada
ayat di atas tidak dihukumi wajib, akan tetapi dihukumi mubah. Hal ini
disebabkan karena perintah ini muncul setelah adanya larangan untuk berburu
yang tertulis dalam ayat:
وحرم عليكم الصيد البر ما دمتم حرما
“Dan diharamkan bagi kalian untuk
berburu di daratan selama kalian berihram”
Begitu juga dalam sebuah
hadits yang membicarakan tentang hukum menyipan daging udhiyyah atau daging
qurban. Dalam teks hadits ini tertulis pada awalnya menyipan daging udhiyyah
atau daging qurban itu dilarang. Namun kemudian teks hadits ini berisi perintah
untuk menyipan daging udhiyyah atau daging qurban. Maka perintah menyipan
daging udhiyyah atau daging qurban ini tidak dihukumi sebagai perkara yang
wajib akan tetapi sebagai perkara yang hukumnya sunnah. Hadits tersebut berbunyi:
كنت نهيتكم عن ادخار لحوم الأضاحي فوق ثلاث، ألا فادخروا ما
بدا لكم
“Dulu saya melarang kalian untuk
menimpan daging udhiyah lebih dari 3 hari, namun hari ini simpanlah sesuia
dengan kebutuhan kalian”
Orang yang Masuk ke Dalam Ranah Berlaku Amr
Amr berlaku bagi golongan
orang-orang sebagaimana berikut:
1.
Orang Mukmin
Dalam hal ini
tidak ada perbedaan pendapat dari para ulama bahwasanya semua orang islam
terlibat dalam menjalankan perintah atau amr. Selama orang islam
tersebut memenuhi kriteria syarat-syarat taklif. Syarat taklif
adalah syarat berlakunya bagi setiap orang untuk menjalankan syariat. Di
antaranya: baligh, berakal, memahami pembicaraan (khitab).
Orang yang lupa
dianggap sebagai orang yang tidak berakal. Sehingga saat ia sedang lupa dia tidak
dibebankan menjalankan syariat. Namun jika syariat itu hukumnya wajib, maka dia
harus menggantinya. Seperti sholat bagi orang yang lupa itu dimaafkan namun ia
tetap harus menggantinya saat ia telah ingat. Begitu juga jika berhubungan
dengan menghilangkan harta orang lain maka dia juga diharuskan untuk
menanggunnya.
2.
Orang Kafir
Jumhur ulama
ushuliyyun berpendapat bahwa orang-orang kafir termasuk orang yang cabang syariat itu tidak sah kecuali dengan
menjalankan Islam. Pendapat jumhur ushuli ini didasari ayat yang berbunyi:
ما سلككم في سقر قالوا لم
نك من المصلين ولم نك نطعم المسكين وكن نخوض مع الخائضين وكن نكذب بيوم الدين
“Apa yang telah memasukkanmu ke dalam saqar?, mereka menjawab
kami dulu tidak melakukan shalat dan tidak memberi makan orang miskin, dan kami
dulu berbincang untuk hal yang batil
bersama orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari kiamat” (Qs. Al-Muddassir: 42-46)
Pada ayat ini
secara jelas pertanyaan-pertanyaan ini dipertanyakan kepada orang-orang kafir
di hari kiamat. Selain itu mereka juga diadzab dengan neraka karena mereka
tidak menjalankan cabang-cabang syariat. Hal ini menunjukkan bahwa mereka
mendapatkan taklif syariat.
Namun pendapat
ini kemudian mendapat sanggahan. Sanggahan pendapat di atas bahwa Mereka
diadzab karena meninggalkan sholat bukan berarti mereka mendapat taklif
dalam hal cabang syariat. Karena sekalipun mereka mendapatkan taklif
tentu tetap tidak sah jika mereka mengerjakannya. Seperti misalkan orang kafir
yang melakukan shalat tentu sholatnya tidak akan diterima kecuali jika dia
telah masuk ke dalam agama Islam. Sedangkan orang kafir tentu saja bukan
orang-orang Islam.
Maka yang
dimaksud pada ayat ini yang berkaitan dengan taklif yaitu bahwa
orang-orang kafir akan diadzab berkali lipat. Hal ini dikerenakan ia telah
melakukan kekufuran dan juga meninggalkan taklif yang mana hal itu
merupakan cabang-cabang syariat Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:
الذين كفرو وصدوا عن سبيل
الله زدناهم عذابا فوق العذاب
“Orang yang kafir
dan menghalangi manusia dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan
demi siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan” (Qs. An-Nahl: 88)
Wallahu a’lam.
Gunungmadu, 11 Juni 2022
M
Comments